Desain konstruksi di atas, mau tidak mau merembet pada isu bagaimana rekayasa sistem ketatanegaraan agar demokrasi melembaga. Bukan basa basi. Apalagi lips service dari pidato selebritis elite politik.
Akhirnya, kembali berpulang pada komitmen bagaimana membangun jumlah partai politik sederhana. Edukasi publik anti politik uang. Ujungnya, pembenahan kapasitas di tubuh partai politik.
Sungguh anomali luar biasa, jika partai politik memuja atau bergantung pada sosok yang diusungnya hanya karena popularitasnya atau karena banyaknya uang di kantong sosok itu, padahal ia bukan kader partai.
Tanpa sadar, apabila tidak ada perbaikan mendasar, partai bisa bersalin rupa menjadi calo bagi siapa saja yang tergoda pada kekuasaan dan berjuang merebutnya dengan cara apapun.
Belum lama ini, Steven Levitsky dan Daniel Zilbatt menerbitkan buku yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia berjudul Bagaimana Demokrasi Mati (Gramedia, 2018).
Buku ini bercerita, di antaranya, bagaimana kehadiran seorang tiran atau fasis, sekaliber Adolf Hitler sekalipun, muncul melalui mekanisme konstitusional pemilu.
Semula, ketenaran Adolf Hitler yang punya massa cukup banyak mengundang pemerintahan lama khususnya Presiden von Papen untuk melakukan tanda kutip “perjanjian dengan iblis”.
Hitler didorong berkuasa untuk mengatasi persoalan krisis ekonomi Jerman.
Diharapkan, kehadiran Hitler dapat merawat eksistensi demokrasi. Nyatanya, begitu berkuasa, ia menjadi fasis. Semua akses demokrasi dimatikan.
Dalam konteks di atas, maka penulis berpendapat, pembentukan kabinet serta upaya pelembagaan oposisi harus dibingkai dalam rangka merawat demokrasi dan menangkal otoriterisme/fasisme.
Linz (Steven Levitsky dan Daniel Zilbatt, hlm.11-12) memberikan beberapa indikator untuk mendeteksi peluang otoriterianisme.
Pertama, apakah ada kelompok atau personal yang mengusulkan cara-cara anti demokrasi, membatasi hak-hak sipil, upaya membatalkan pemilu dan sebagainya.
Kedua, apakah ada kelompok atau partisan menuduh tanpa dasar lawan partisannya sebagai kriminal yang dianggap melanggar hukum untuk mengeluarkan mereka dari arena politik.
Ketiga, adakah suatu kelompok atau personal, bahkan pemerintahan sekalipun yang menggagas tindakan hukum sebagai ancaman bagi partai lawan, masyarakat sipil maupun media yang berbeda pandangan.
Demokrasi mahal meraihnya sekaligus tidak mudah mempertahankannya. Beberapa negara runtuh ke alam otoriterian kerap kali tanpa sadar. Apalagi dalam alam demokrasi, sejuta kemungkinan selalu tersedia.
Media yang partisan. Elite yang berkelahi hanya berbasiskan perebutan jabatan semata. Atau tradisi mencela bagi yang beda.
Situasi demikian lambat laun jika tidak segera diperbaiki akan membuat demokrasi terperosok, bahkan mati dalam brutalnya otoriterianisme.
Maka, bagi semua pihak, perlu berikhtiar keras untuk memastikan demokrasi baik kelembagaan maupun nilai-nilainya benar-benar menjadi cahaya bagi kehidupan bernegara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.