JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai, pendanaan untuk pemulihan hak korban tindak pidana penyiksaan dan pelayanan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) belum optimal.
Padahal, pemulihan hak-hak korban penyiksaan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi, telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (UU LPSK).
Baca juga: TKN Sebut Permintaan Perlindungan Saksi Tim Hukum 02 Dramatisasi Belaka
"Demi kepentingan pemulihan hak korban, khususnya korban tindak pidana penyiksaan, sisi pendanaan maupun pelayanan LPSK harus lebih dioptimalkan lagi," ujar Anggara melalui keterangan tertulisnya, Rabu (26/6/2019).
Menurut Anggara, dari sisi pendanaan atau alokasi anggaran, LPSK belum memiliki kemandirian dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggarannya (RKAL).
Sebab, RKAL LPSK masih menempel pada RKAL Sekretariat Negara (Setneg).
Hal ini, kata Anggara, berakibat pada tidak maksimalnya atau keterbatasan LPSK dalam memberikan layanan bantuan pada para korban tindak pidana.
Baca juga: Penegak Hukum Didorong Optimalkan Restitusi pada Korban Anak
Di sisi lain, kasus penyiksaan saat ini sulit ditindaklanjuti karena praktik penyiksaan seringkali dilakukan oleh aparatur negara.
Penyiksaan kerap dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dalam proses peradilan dan atau penghukuman kejam lainnya.
"Sedangkan untuk pengajuan layanan LPSK terkadang harus ada laporan tindak pidana, sesuatu yang jarang direspon oleh pihak yang berwajib," kata Anggara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.