Pemerintah Kota Bogor, misalnya, telah menegaskan komitmennya untuk mengurangi dampak negatif dari produk rokok. Komitmen tersebut diterjemahkan melalui pembentukan peraturan daerah maupun peraturan wali kota.
Terkait penegakan ketentuan, Pemkot Bogor juga rutin menggelar inspeksi mendadak (sidak) dan sidang tindak pidana ringan (tipiring) di lokasi.
Hanya saja, dalam praktiknya, cenderung terjadi pengabaian partisipasi pemangku kepentingan dalam proses legislasi terkait Perda Kota Bogor No. 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Perwal No. 3 Tahun 2014 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Produk Rokok di Kota Bogor.
Salah satu imbasnya, Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mempersoalkan proses perancangan atau pembentukan kedua regulasi yang dinilai tidak melibatkan para pemohon sebagai pihak-pihak terdampak. Bahkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memberikan masukan, baik secara lisan dan/atau tertulis.
Dengan merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 32 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan melalui Jalur Nonlitigasi, mereka memohonkan pencabutan kedua peraturan yang secara substansial maupun prosedural dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menerima, memeriksa, dan memutus sengketa peraturan perundang-undangan melalui jalur nonlitigasi menyatakan bahwa telah tersedia kesempatan untuk menggugat sebuah kebijakan.
Di luar itu, ketentuan pengujian peraturan perundang-undangan memungkinkan adanya permohonan pengujian. Hal ini bisa ditempuh sepanjang pemohon menilai bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Namun dalam praktik, cenderung lebih susah untuk mendalilkan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan formal dan/atau prosedural, yakni bahwa sebuah peraturan perundang-undangan telah dibuat sesuai dengan atau menurut cara yang diatur dalam undang-undang atau konstitusi.
Peraturan daerah memang diakui sebagai hukum positif sebagai penjabaran ketentuan yang lebih tinggi. Hanya saja, dengan realitas peraturan daerah yang bisa bertentangan atau tumpang-tindih dengan ketentuan yang lebih tinggi, pemerintah pusat harus menjalankan perannya dalam hal pembinaan dan pengawasan hukum nasional.
Dalam kondisi tersebut, ironis jika pemerintah pusat tidak menjalankan fungsinya secara efektif untuk mengkaji peraturan-peraturan daerah agar tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.
Realitas lainnya yang menjadi tantangan besar jika menyoal proses legislasi, absennya partisipasi kerap menjadi delik yang relatif mudah dipatahkan saat permohonan pengujian.
Jamaknya, dengan gampang para pembuat kebijakan menyodorkan bukti daftar hadir rapat dengar pendapat umum, misalnya, walaupun peserta yang diundang tidak bisa sepenuhnya merepresentasikan pemangku kepentingan.
Belum lagi dalam kasus pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan di Mahkamah Agung, ketiadaan persidangan secara terbuka bakal kian menyulitkan pemohon karena tidak ada kesempatan untuk memperkokoh argumentasi dengan menghadirkan saksi-saksi.
Kondisi tersebut tentunya jauh dari gambaran ideal pembentukan kebijakan yang deliberatif, memberikan ruang yang memadai untuk partisipasi publik. Harus diingat bahwa setiap produk peraturan perundang-undangan akan menjadi hukum yang mengikat.
Karenanya, mengutip pendapat filsuf tersohor Socrates, hukum semestinya bukan aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonism diri (kontra kaum sofis).
Akan tetapi, hukum harus mampu menjembatani kepentingan upper structure and low structure dan juga harus dibuat untuk mengabdi pada kebahagiaan (eudaimonia) sebagai tujuan kehidupan manusia.
Akhirnya, absennya partisipasi akan terus menjadi musibah dalam proses legislasi. Para pemangku kepentingan dan publik secara keseluruhan hanya akan menempati urutan-kesekian dalam pembentukan kebijakan.
Lantas, akankan kita rela terus membiarkan proses semacam itu terus berulang dalam legislasi kita?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.