Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Robert Na Endi Jaweng
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)

Ke Mana Peran Partisipasi dalam Legislasi?

Kompas.com - 20/06/2019, 19:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NYARIS setiap pembahasan rancangan aturan perundang-undangan yang berdampak luas kepada publik memantik polemik.

Dalam arti positif, polemik tersebut dipandang sebagai ekpresi sikap publik yang merasa perlu terlibat untuk membahas kebijakan yang menyangkut dirinya.

Prinsipnya jelas: nothing about us, without us. Regulasi yang hendak mengatur publik sepatutnya menyertakan publik dalam penyusunannya (kualitas proses).

Namun pada sisi lain, polemik seperti itu seolah mencuatkan kembali persoalan laten dalam legislasi, yakni perihal (absennya) partisipasi pemangku kepentingan.

Artinya, polemik di belakang hari muncul saat suatu kebijakan hendak atau sedang dilaksanakan.

Penolakan bisa terjadi lantaran isi regulasi yang merugikan publik, atau tidak dipahami publik secara tepat.

Respons demikian tak akan muncul jika publik (setidaknya pemangku kepentingan dan para pihak terdampak) dilibatkan dalam tahapan-tahapan penting penyusunan regulasi.

Partisipasi

Dalam tataran ideal, pembuat kebijakan semestinya tak boleh melupakan prinsip keterbukaan dan juga partisipasi publik dalam proses legislasi.

Hal itu sesuai dengan asas-asas mendasar pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti kejelasan tujuan; kelembagaan; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; efektivitas dan efisiensi; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memuat klausul tersendiri soal partisipasi tersebut.

Pada prinsipnya, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Agar partisipasi masyarakat bisa berjalan dengan baik, harus dipastikan bahwa rancangan peraturan perundang-undangan juga dapat diakses dengan mudah oleh publik.

Secara normatif, ketentuan telah mengharuskan pihak pemerintah dan legislatif sebagai pihak yang berwenang menetapkan peraturan perundang-undangan untuk menyebarluaskan setiap rancangan mulai dari penyusunan program legislasi, pembahasan, hingga pengundangan.

Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat dan para pemangku kepentingan mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan.

Hanya saja, dalam praktik, asas keterbukaan dan juga partisipasi publik dan/atau pemangku kepentingan kerap absen atau diabsenkan.

Salah satu faktor penyebabnya akibat kepentingan (interest) yang berlebihan dari pembuat kebijakan. Setiap kali kepentingan para pembuat kebijakan lebih mengedepan, setiap kali pula publik harus menjadi pihak yang dikebelakangkan dalam proses legislasi.

Sebagai contoh, hal-hal terkait hak, tugas, dan kewenangan anggota DPR/DPRD saat pembahasan RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) pada awal 2018 adalah materi yang cenderung sulit diakses secara luas pada awalnya dan kemudian mencuat sebagai kontroversi di hadapan publik yang merasakan adanya perlakuan (terlalu) istimewa kepada para wakil rakyat tersebut.

Proses advokasi dari kelompok masyarakat sipil tidak pernah berjalan mulus, bahkan hingga saat-saat terakhir menjelang pengesahannya.

Dalam kasus seperti itu, acapkali pengujian peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Konstitusi dan/atau Mahkamah Agung menjadi jalan akhir yang harus ditempuh oleh para pemangku kepentingan yang merasa dirugikan.

Contoh terkini, polemik mengenai draf RUU Pemusikan memperlihatkan bagaimana sebuah draf RUU justru ditolak (mayoritas) musikus sendiri.

Sebagai pemangku kepentingan utama atas aturan tersebut, para musikus bukan saja tidak terwakili aspirasinya, tetapi bahkan merasa menilai RUU tersebut berpotensi merugikan mereka.

Alhasil, para musikus secara masif mengadvokasi agar draf RUU tersebut dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional.

Ruang yang hilang

Berbagai alasan biasa dimunculkan oleh pembuat kebijakan terkait pengabaian partisipasi publik tersebut. Misalnya, pembuat kebijakan mencoba menekan munculnya alternatif-alternatif berikut tata nilai yang harus dipertimbangkan dalam sebuah kebijakan.

Mengakomodasi berbagai kepentingan bukanlah pekerjaan mudah dan tentu butuh waktu. Untuk mengakali hal demikian, yang kerap terjadi kemudian adalah kehadiran partisipasi semu (atau bahkan palsu), yakni manakala masukan dari segelintir kelompok masyarakat dijadikan justifikasi bahwa proses legislasi telah membukakan ruang untuk partisipasi masyarakat.

Partisipasi pun hanya dipatuhi sekadar sebagai perangkat-prosedural, dengan mengabaikan perannya sebagai perangkat antisipasi dinamika sosial.

Ketika partisipasi publik absen dalam proses legislasi, hampir bisa dipastikan bahwa kebijakan yang ditetapkan berisiko tidak akan efektif saat implementasi di lapangan.

Sebuah kebijakan cenderung lebih sulit dipahami oleh publik secara luas. Munculnya protes penolakan bisa mengindikasikan hilangnya ruang partisipasi saat proses legislasi.

Salah satu contohnya adalah penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) terkait regulasi daerah tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dan batasan iklan tembakau.

Penelitian ini menemukan beberapa permasalahan krusial, di antaranya kon?ik dengan peraturan lebih tinggi, norma yang inkonsisten, serta klausul yang multitafsir.

KPPOD juga mendapati sejumlah ketentuan yang melanggar regulasi nasional serta bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Pemerintah Kota Bogor, misalnya, telah menegaskan komitmennya untuk mengurangi dampak negatif dari produk rokok. Komitmen tersebut diterjemahkan melalui pembentukan peraturan daerah maupun peraturan wali kota.

Terkait penegakan ketentuan, Pemkot Bogor juga rutin menggelar inspeksi mendadak (sidak) dan sidang tindak pidana ringan (tipiring) di lokasi.

Hanya saja, dalam praktiknya, cenderung terjadi pengabaian partisipasi pemangku kepentingan dalam proses legislasi terkait Perda Kota Bogor No. 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Perwal No. 3 Tahun 2014 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Produk Rokok di Kota Bogor.

Salah satu imbasnya, Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mempersoalkan proses perancangan atau pembentukan kedua regulasi yang dinilai tidak melibatkan para pemohon sebagai pihak-pihak terdampak. Bahkan mereka tidak memiliki kesempatan untuk memberikan masukan, baik secara lisan dan/atau tertulis.

Dengan merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 32 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan melalui Jalur Nonlitigasi, mereka memohonkan pencabutan kedua peraturan yang secara substansial maupun prosedural dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menerima, memeriksa, dan memutus sengketa peraturan perundang-undangan melalui jalur nonlitigasi menyatakan bahwa telah tersedia kesempatan untuk menggugat sebuah kebijakan.

Di luar itu, ketentuan pengujian peraturan perundang-undangan memungkinkan adanya permohonan pengujian. Hal ini bisa ditempuh sepanjang pemohon menilai bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Namun dalam praktik, cenderung lebih susah untuk mendalilkan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan formal dan/atau prosedural, yakni bahwa sebuah peraturan perundang-undangan telah dibuat sesuai dengan atau menurut cara yang diatur dalam undang-undang atau konstitusi.

Peraturan daerah memang diakui sebagai hukum positif sebagai penjabaran ketentuan yang lebih tinggi. Hanya saja, dengan realitas peraturan daerah yang bisa bertentangan atau tumpang-tindih dengan ketentuan yang lebih tinggi, pemerintah pusat harus menjalankan perannya dalam hal pembinaan dan pengawasan hukum nasional.

Dalam kondisi tersebut, ironis jika pemerintah pusat tidak menjalankan fungsinya secara efektif untuk mengkaji peraturan-peraturan daerah agar tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.

Realitas lainnya yang menjadi tantangan besar jika menyoal proses legislasi, absennya partisipasi kerap menjadi delik yang relatif mudah dipatahkan saat permohonan pengujian.

Jamaknya, dengan gampang para pembuat kebijakan menyodorkan bukti daftar hadir rapat dengar pendapat umum, misalnya, walaupun peserta yang diundang tidak bisa sepenuhnya merepresentasikan pemangku kepentingan.

Belum lagi dalam kasus pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan di Mahkamah Agung, ketiadaan persidangan secara terbuka bakal kian menyulitkan pemohon karena tidak ada kesempatan untuk memperkokoh argumentasi dengan menghadirkan saksi-saksi.

Kondisi tersebut tentunya jauh dari gambaran ideal pembentukan kebijakan yang deliberatif, memberikan ruang yang memadai untuk partisipasi publik. Harus diingat bahwa setiap produk peraturan perundang-undangan akan menjadi hukum yang mengikat.

Karenanya, mengutip pendapat filsuf tersohor Socrates, hukum semestinya bukan aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonism diri (kontra kaum sofis).

Akan tetapi, hukum harus mampu menjembatani kepentingan upper structure and low structure dan juga harus dibuat untuk mengabdi pada kebahagiaan (eudaimonia) sebagai tujuan kehidupan manusia.

Akhirnya, absennya partisipasi akan terus menjadi musibah dalam proses legislasi. Para pemangku kepentingan dan publik secara keseluruhan hanya akan menempati urutan-kesekian dalam pembentukan kebijakan.

Lantas, akankan kita rela terus membiarkan proses semacam itu terus berulang dalam legislasi kita?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Nasional
Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Nasional
PPP Buka Peluang Usung Sandiaga jadi Cagub DKI

PPP Buka Peluang Usung Sandiaga jadi Cagub DKI

Nasional
Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com