Salah satu faktor penyebabnya akibat kepentingan (interest) yang berlebihan dari pembuat kebijakan. Setiap kali kepentingan para pembuat kebijakan lebih mengedepan, setiap kali pula publik harus menjadi pihak yang dikebelakangkan dalam proses legislasi.
Sebagai contoh, hal-hal terkait hak, tugas, dan kewenangan anggota DPR/DPRD saat pembahasan RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) pada awal 2018 adalah materi yang cenderung sulit diakses secara luas pada awalnya dan kemudian mencuat sebagai kontroversi di hadapan publik yang merasakan adanya perlakuan (terlalu) istimewa kepada para wakil rakyat tersebut.
Proses advokasi dari kelompok masyarakat sipil tidak pernah berjalan mulus, bahkan hingga saat-saat terakhir menjelang pengesahannya.
Dalam kasus seperti itu, acapkali pengujian peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Konstitusi dan/atau Mahkamah Agung menjadi jalan akhir yang harus ditempuh oleh para pemangku kepentingan yang merasa dirugikan.
Contoh terkini, polemik mengenai draf RUU Pemusikan memperlihatkan bagaimana sebuah draf RUU justru ditolak (mayoritas) musikus sendiri.
Sebagai pemangku kepentingan utama atas aturan tersebut, para musikus bukan saja tidak terwakili aspirasinya, tetapi bahkan merasa menilai RUU tersebut berpotensi merugikan mereka.
Alhasil, para musikus secara masif mengadvokasi agar draf RUU tersebut dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional.
Berbagai alasan biasa dimunculkan oleh pembuat kebijakan terkait pengabaian partisipasi publik tersebut. Misalnya, pembuat kebijakan mencoba menekan munculnya alternatif-alternatif berikut tata nilai yang harus dipertimbangkan dalam sebuah kebijakan.
Mengakomodasi berbagai kepentingan bukanlah pekerjaan mudah dan tentu butuh waktu. Untuk mengakali hal demikian, yang kerap terjadi kemudian adalah kehadiran partisipasi semu (atau bahkan palsu), yakni manakala masukan dari segelintir kelompok masyarakat dijadikan justifikasi bahwa proses legislasi telah membukakan ruang untuk partisipasi masyarakat.
Partisipasi pun hanya dipatuhi sekadar sebagai perangkat-prosedural, dengan mengabaikan perannya sebagai perangkat antisipasi dinamika sosial.
Ketika partisipasi publik absen dalam proses legislasi, hampir bisa dipastikan bahwa kebijakan yang ditetapkan berisiko tidak akan efektif saat implementasi di lapangan.
Sebuah kebijakan cenderung lebih sulit dipahami oleh publik secara luas. Munculnya protes penolakan bisa mengindikasikan hilangnya ruang partisipasi saat proses legislasi.
Salah satu contohnya adalah penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) terkait regulasi daerah tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dan batasan iklan tembakau.
Penelitian ini menemukan beberapa permasalahan krusial, di antaranya kon?ik dengan peraturan lebih tinggi, norma yang inkonsisten, serta klausul yang multitafsir.
KPPOD juga mendapati sejumlah ketentuan yang melanggar regulasi nasional serta bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.