Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasal Penodaan Agama di RKUHP Dinilai Bisa Memicu Kasus Persekusi

Kompas.com - 19/03/2018, 16:40 WIB
Robertus Belarminus,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator jaringan Gusdurian Alissa Wahid menyatakan pasal penodaan agama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bisa memicu terjadinya aksi persekusi.

Alissa mengatakan, jika disahkan, pasal penodaan agama dalam RKUHP itu bisa dijadikan dasar oleh kelompok tertentu untuk melakukan aksi main hakim sendiri.

"Seperti yang kita lihat kasus persekusi tahun 2017. Alasannya adalah penghinaan. Karena ada pasal penodaan agama, penghinaan, maka kemudian ke kelompok-kelompok tertentu mengejar, memburu orang-orang, dan melakukan apa yang kita sebut sebagai persekusi," kata Alissa.

(Baca juga: Hindari Persekusi, Ketentuan Pelapor dalam Pasal Zina Perlu Diperketat)

Hal itu dia sampaikan dalam konfrensi pers sejumlah tokoh dalam menyikapi RKUHP di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Menteng, Jakarta, Senin (19/3/2018).

Sebab, Alissa melanjutkan, dalam sebuah penelitian, orang Indonesia menganggap agama paling besar pengaruhnya dalam kehidupan, dan persoalan identitas agama itu menjadi persoalan penting bagi mereka.

Sementara itu, secara kultur orientasi dan social centric society, masyarakat Indonesia masih melihat dirinya sebagai bagian dari kelompok.

Sehingga ketika terjadi protes karena masalah penodaan agama, maka yang turun melakukan protes itu tentu dalam bentuk kelompok.

Kelompok tertentu itu dinilai berpotensi akan menggunakan pasal penodaan agama ini untuk menjadi dasar bagi mereka melakukan persekusi.

"Saya membayangkan kelompok tertentu atas nama hukum, mereka memburu orang tertentu yang dianggap menghina, baru setelah itu menyerahkan ke polisian. Ini rentan," ujar Alissa.

(Baca juga: Gusdurian Khawatir Persekusi di Indonesia Berkembang seperti Pakistan)

Pasal penodaan agama juga dinilai bisa mendorong dinamika rasa saling curiga di antara umat beragama.

Dia mencontohkan kasus dosen di Aceh yang dilaporkan mahasiswa karena mengajak belajar di sebuah tempat ibadah agama lain.

Potensi ketegangan sosial akibat pasal ini menurut dia menjadi tinggi.

"Kuliah-kuliah itu bisa dilabeli penghinaan agama, ketika dosen menyebarkan, mengirimkan bahan kuliah, bandingkan agama, ini kemudian dianggap sebagai penyebar luasan penghinaan agama. Jadi pasal ini karet sekali, bisa dipakai ke mana-mana atas nama agama," ujar Alissa.

Dia menilai, niat dari pembuat undang-undang mungkin baik, yakni meminimalisir ketegangan yang terjadi dalam kehidupan beragama akibat tindakan seperti perusakan tempat ibadah, protes, penyerangan, penghinaan dan lainnya.

Namun, seharusnya formulasi ketentuannya harus dibuat dengan hati-hati. Jika tidak, formulasi yang ada justru membuka ruang digunakan atas nama identitas kelompok tertentu tadi.

Kompas TV Massa dari sejumlah organisasi, Sabtu (11/3) menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, meminta agar pembahasan RUU KUHP dihentikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Nasional
Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Nasional
Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Nasional
Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Nasional
297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

Nasional
Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com