JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Junimart Girsang menilai bahwa ketentuan mengenai pelapor dalam tindak pidana perzinaan perlu diperketat.
Pasal 484 Ayat (2) draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan, tindak pidana zina tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan.
Menurut Junimart, pelapor tindak pidana zina harus dibatasi dengan ketentuan hubungan darah. Dengan demikian, tidak semua orang bisa melaporkan adanya tindak pidana jika tidak memiliki hubungan keluarga dengan pelaku.
"Kita harus batasi, yang berkepentingan, yang punya hubungan darah. Jadi jangan setiap orang bisa melapor. Ini juga harus kita batasi juga dalam KUHP," ujar Junimart saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/1/2018).
(Baca juga: Pasal Zina di Ruu KUHP Dikhawatirkan Buat Masyarakat Main Hakim Sendiri)
Politisi PDI-P itu mengatakan, jika ketentuan mengenai pelapor diperketat maka potensi persekusi dan main hakim sendiri di tengah masyarakat akan meningkat.
Tidak menutup kemungkinan juga, kata Junimart, pasal itu akan dimanfaatkan seseorang untuk menjebak orang lain
"Bagaimana pun caranya agar persekusi ini tidak terjadi. Jika tidak diperketat itu bisa penyalahgunaan," ujar dia.
"Kalau dia berkepentingan dan punya hubungan darah dia bisa (melaporkan). Tapi kalau setiap orang bisa melaporkan itu aneh, bisa menjebak dan main hakim sendiri," kata Junimart.
(Baca juga: Belasan Ribu Dukungan untuk Petisi Tolak Perluasan Pasal Zina di RKUHP )
Diketahui, pasal perzinaan diperluas dalam draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018.
Pasal 484 ayat (1) huruf e menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan diancam pidana penjara lima tahun.
Sedangkan dalam KUHP yang lama, perzinaan dapat dipidana jika salah satu pelaku telah memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain.