JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Setara Institute Hendardi meminta pemerintah dan DPR tidak terburu-buru dalam mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Hendardi, tidak ada alasan memaksa untuk mempercepat pengesahan RKUHP, mengingat saat ini sejumlah pasal dalam draf tersebut masih menimbulkan polemik di kalangan masyarakat sipil.
"Ikhtiar mempercepat pembahasan RUU KUHP yang muncul dari pertemuan Presiden-Tim Perumus RUU tidak boleh menegasikan aspirasi publik yang menganggap bahwa RUU tersebut masih banyak mengandung persoalan," ujar Hendardi melalui keterangan tertulis, Senin (12/3/2018).
Baca juga : Belum ada Terjemahan Resmi KUHP, DPR Diminta Hentikan Bahas Revisi
Di sisi lain, kata Hendardi, para pembentuk UU dinilainya cenderung memilih waktu pembahasan yang sarat dengan event politik.
Hal ini membuat perdebatan publik terkait RUU terjebak pada politisasi dibandingkan mengajukan argumen akademik.
Ia mencontohkan, beberapa pasal yang tidak menunjukkan inkonsistensi pemerintah dan DPR dalam menangkap aspirasi publik serta tak mematuhi amanat Mahkamah Konstitusi, yakni pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dan penodaan agama.
Selain itu, Hendardi juga menilai, pembahasan RKUHP cenderung tidak partisipatif.
"Ketergesa-gesaan rencana pengesahan di tengah masih banyaknya kontroversi dalam sejumlah isu, hanya memperkuat dugaan bahwa terdapat aneka kepentingan yang diselundupkan," kata dia.
Baca juga : Kronik KUHP: Seabad di Bawah Bayang Hukum Kolonial
Berdasarkan catatan Setara ada beberapa pasal dalam RKUHP yang masih menjadi polemik hingga saat ini.
Pertama, soal pasal-pasal kesusilaan sebagai perluasan pasal permukahan (overspel/perzinahan).
Hendardi menilai, negara terlalu jauh dengan mengatur wilayah privat warga negara. Menurut dia, pasal-pasal kesusilaan dalam rancangan revisi KUHP tersebut memperkuat tren puritanisasi dalam politik dan hukum negara.
Kedua, pasal penodaan agama yang diperluas dari satu pasal, pasal 156 huruf a menjadi delapan pasal.
Baca juga : ICJR Nilai Rancangan KUHP Memuat Aturan Legalisasi Judi
Ketiga, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Dua pasal karet mengenai isu tersebut, yaitu Pasal 263 dan 264 RKUHP dinilai mengancam demokrasi karena berpotensi menyumbat saluran "social/people control" sebagai salah satu mekanisme kontrol kekuasaan dalam demokrasi, di samping mekanisme checks and balances.
Pembahasan RKUHP antara DPR dan pemerintah ditargetkan akan selesai pada April 2018 mendatang.