Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/10/2017, 07:05 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) periode 2013-2015 Suparman Marzuki berpendapat, rendahnya tingkat kesejahteraan tidak bisa menjadi alasan maraknya kasus korupsi di lembaga peradilan, terutama yang melibatkan hakim.

Pasalnya, pada tahun 2012, pemerintah telah menaikkan hak keuangan dan fasilitas hakim yang dinilai cukup signifikan.

"Itu enggak bisa jadi alasan. Kalau itu dijadikan alasan, artinya dia berbohong. Itu enggak ada ceritanya. Hanya satu bagian kecil," ujar Suparman, di sela diskusi Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) terkait praktik korupsi di lembaga peradilan, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (18/10/2017).

Suparman mengatakan, pemerintah telah menaikkan standar pendapatan hakim melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.

Baca: Berantas Hakim Korup, KPK Diminta Terus Lakukan OTT

Berdasarkan Perppu itu, hakim yang ditugaskan di Pengadilan Tingkat Kelas II B atau 0 tahun mendapat penghasilan sebesar Rp 8,4 juta.

Jika hakim tersebut ditempatkan di sejumlah tempat seperti Papua, dia berhak mendapat tunjangan kemahalan sebesar Rp 10 juta.

"Jadi dia bisa dapat uang sekitar Rp 18,5 juta sebulan," kata Suparman.

Ketua Pengadilan Negeri mendapat penghasilan antara Rp 25 juta-Rp 27 juta per bulan.

Sementara, hakim di Pengadilan Tinggi memiliki penghasilan sekitar Rp 45 juta-Rp 46 juta, tergantung golongan dan masa kerja.

"Ketua Mahkamah Agung mengikuti belakangan setelah gaji hakim-hakim PN dan PT naik maka hakim MA baru naik di 2013 akhir," kata Suparman.

Baca: Hakim Agung Gayus Lumbuun Minta Ketua MA Mundur

"Ketua MA itu sekitar Rp 122 juta, wakilnya sekitar Rp 90 juta. Hakim agung rata-rata Rp 72 juta," ujar dia.

Menurut Suparman, kenaikan gaji hakim saat itu diakomodasi oleh KY berdasarkan usulan dari 400 hakim.

"Yang mengajukan usul kenaikan gaji saat itu ada sekitar 400 hakim," ujar akademisi dari Universitas Islam Indonesia itu.

Suparman menilai, maraknya kasus korupsi di lembaga peradilan karena upaya pencegahan yang dilakukan selama ini tidak menyentuh akar permasalahan.

Menurut dia, ada beberapa sektor yang jarang disentuh oleh Badan Pengawasan MA, seperti penanganan perkara di pengadilan dan praktik persidangan.

Sementara, jumlah sumber daya manusia di Bawas MA tidak sanggup mengawasi seluruh lembaga peradilan di bawahnya yang mencapai sekitar 800 lembaga peradilan di seluruh Indonesia.

Oleh sebab itu, kata Suparman, MA harus melibatkan lembaga-lembaga lain seperti KY dan KPK dalam melakukan pengawasan.

Ia berpendapat, operasi tangkap tangan (OTT) bisa menjadi salah satu metode yang ampuh untuk mengurangi praktik korupsi di lembaga peradilan, khususnya terhadap hakim.

"Lalu bagaimana mengeliminasi korupsi? OTT hsrus jalan terus, KPK harus didukung. KY harus terus bekerja sama dengan MA," kata Suparman.

Berdasarkan catatan Komisi Yudisial (KY), sejak 2009 terdapat 48 kasus pelanggaran kode etik hakim. Sebanyak 23 kasus di antaranya menyangkut gratifikasi atau suap.

Selain itu, menurut data Litbang KOMPAS, sejak 2014 hingga 2017, KPK telah menangkap enam panitera terkait dugaan kasus suap perkara di pengadilan.

Kompas TV Pemberhentian sementara adalah respon dari operasi tangkap tangan KPK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com