"Karena tidak setuju, saya berharap tidak dilanjutkan lagi. Enggak akan mengirim (perwakilan)," ujar Muhaimin di Kantor DPP PKB.
(Baca: Pelemahan KPK dengan Hak Angket Bisa Sia-sia, jika...)
Meski salah satu anggotanya, Rohani Vanath, sempat memberi tanda tangan dukungan, Muhaimin menegaskan bahwa yang bersangkutan telah mencabut dukungan tersebut.
Ketua Umum PPP Romahurmuziy tak kalah lantang.
Ia meminta Arsul Sani, Anggota Komisi III dari Fraksi PPP yang juga Sekretaris Jenderal PPP, untuk mencabut dukungannya terhadap hak angket KPK.
"Keputusan Saudara Arsul Sani ini berdasarkan keputusan pribadi, bukan keputusan fraksi. Maka setelah fraksi memutuskan untuk tidak melanjutkan hak angket KPK maka seluruh kader PPP harus mematuhi keputusan itu," ujar Romahurmuziy, melalui keterangan tertulisnya.
Sementara itu, Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan, tanda tangan dukungan yang diberikan Fahri Hamzah hanya akal-akalan Fahri.
Ia menganggap langkah Fahri bukan bagian dari kebijakan Fraksi PKS di DPR, melainkan inisiatif pribadi.
Seluruh kader PKS kompak menolak usulan itu. Sohibul menyatakan Fahri bukan kader PKS.
"Anda kan sudah tahu posisi Pak Fahri di mana. Jadi PKS-lah yang sejak awal konsisten menolak hak angket. Buktinya kami tidak ada satupun yang menandatangani," ujar Sohibul.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bahkan menyatakan akan melalukan perlawanan jika hak angket tetap diteruskan di tingkat Pansus.
"Kami akan lawan dengan cara apapun, tentu. Kalau memang tidak mengirim (perwakilan) bisa menyelesaikan masalah ya kami tidak kirim. Kalau tidak menyelesaikan masalah, ya kami tarung di dalam," ujar dia.
(Baca: Surya Paloh: Apa yang Luar Biasa Bila DPR Gunakan Hak Angket?)
Menurut Zulkifli, hak angket bisa berujung pada jatuhnya pemerintahan karena muara hak angket adalah hak menyatakan pendapat kepada Presiden.
Kerja KPK untuk mengusut kasus-kasus korupsi menurutnya tak boleh diganggu.
"Menyatakan pendapat, bisa jatuh pemerintah," kata Ketua MPR RI itu.
Orientasi Pemilu 2019
Sikap "balik badan" seperti ini bukan kali pertama terjadi di pemerintahan era Presiden Joko Widodo.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan, hal yang sama terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).