JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menilai wajar penggunaan hak angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Berita Acara Pemeriksaan (BAP) anggota DPR Fraksi Hanura, Miryam S. Haryani.
"Saya bisa memahani itu. Dan saya menyatakan ketika ditanyakan saya bilang silakan jalankan hak kalian dalam fraksi di DPR," ujar Paloh saat ditemui di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasdem, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/5/2017).
Ia menganggap hak angket merupakan hak yang melekat pada DPR sehingga wajar bila sekali waktu digunakan. Menurut Paloh, dalam hal ini, DPR hanya menjalankan tugas seperti biasanya untuk mengawasi kinerja lembaga lain.
"Apa yang luar biasa DPR gunakan hak angket ketika hak itu melekat pada dewan. Bukan dia mendapat hak baru. Hak interpelasi, hak angket, ada pada dewan. Kemudian dipergunakan pada KPK dengan latar belakang KPK dibentuk dewan," tutur Paloh.
(Baca: Mahfud MD: KPK Tak Bisa Jadi Subyek untuk Hak Angket)
Ia meyakini tak ada satu lembaga pun baik di eksekutif maupun legislatif yang luput dari kesalahan dalam menjalankan tugasnya terlepas disengaja atau tidak. Sehingga usulan hak angket DPR kepada KPK, bagi Paloh, merupakan mekanisme pengawasan yang wajar dan sudah semestinya dilakukan.
Ia mengatakan masyarakat tentu menginginkan KPK yang kuat. Hal itu, menurutnya, harus dilakukan tanpa harus melemahkan kinerja dewan yang memang memiliki hak untuk mengawasi KPK.
Paloh pun menegaskan partainya mendukung usulan hak angket agar KPK menjadi lebih baik kinerjanya.
"Kau laksanakan hak angket KPK untuk apa? Niat baik? Oh baik. Oh mau cek apakah jalan proseduralnya. Boleh, enggak ada yang salah. Justru aneh kalau dianggap luar biasa, itu namanya kita melemahkan dewan," ujar Paloh.
(Baca: Drama Rapat Paripurna DPR Loloskan Hak Angket KPK...)
"Mungkin ada dua tiga policy dewan yang salah. Mungkin ada dua, empat, lima, sepuluh elit politik yang memuakkan. Tapi apakah institusinya harus dihilangkan? Harus dibumihanguskan?" lanjut Paloh.
Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam persidangan, penyidik KPK Novel Baswedan yang dikonfrontasi dengan politisi Hanura Miryam S Haryani, mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP. Menurut Novel, hal itu diceritakan Miryam saat diperiksa di Gedung KPK.
Para anggota DPR yang namanya disebut langsung bereaksi. Penggunaan hak angket kemudian muncul. Dalam Rapat Paripurna pada Jumat lalu, Taufiqulhadi selaku perwakilan pengusul menyampaikan sejumlah latar belakang pengusulan hak angket itu.
(Baca: Fahri Hamzah Sebut Hak Angket Bisa Diajukan untuk KPK, Ini Alasannya)
Salah satunya terkait tata kelola anggaran, misalnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepatuhan KPK Tahun 2015 tercatat 7 indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Selain itu, terkait tata kelola dokumentasi dalam proses hukum penindakan dugaan kasus korupsi, yakni terjadinya "kebocoran" dokumen dalam proses hukum seperti Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan surat cegah tangkal (cekal), serta beberapa temuan lainnya yang akan didalami dalam pelaksanaan hak angket nanti.
Setelah disahkan, DPR langsung dikritik berbagai pihak. Elite parpol belakangan bersikap menolak penggunaan hak angket tersebut.