Dari OTT misalnya, KPK telah menetapkan 56 tersangka dari 17 OTT sepanjang 2016. Para tersangka itu terdiri dari berbagai elemen pekerjaan, yakni penegak hukum, anggota legislatif, kepala daerah, dan pihak swasta.
Menurut Miko, ketentuan tersebut mencampuradukkan kewenangan pengawasan lembaga dengan pengawasan terhadap kewenangan pro justitia. Dalam UU 30/2002, penyadapan dilakukan atas izin pimpinan KPK.
"Apabila digeser, maka terjadi perbenturan dengan UU KPK sendiri dan akan terjadi dualisme kepemimpinan di KPK. Izin penyadapan ini akan berpengaruh pada kinerja KPK. OTT kan dari hasil penyadapan," ucap Miko.
(Baca juga: Agus Rahardjo Harap Jokowi Tak Lanjutkan Revisi UU KPK)
Ketiga, dalam draf revisi UU KPK terdapat klausul tentang surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan penuntutan. Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 40.
Dalam Pasal 40 ayat 2, penghentian penyidikan harus disertai alasan dan bukti yang cukup. Penghentian penyidikan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu pekan setelah surat dikeluarkan.
Menurut Miko, tidak perlu ada ketentuan SP3. Sebab, kualitas penyidikan dan bukti permulaan yang dimiliki KPK berkualitas tinggi dan didukung forum ekspose.
"Saya kira tidak ada urgensinya mengingat conviction rate KPK masih cukup baik sejauh ini. Apabila ada tersangka atau terdakwa yang sakit keras atau meninggal, KPK bisa mengajukan tuntutan bebas ke pengadilan," ucap Miko.
Selama ini, adanya tersangka atau terdakwa yang sakit keras dan meninggal memang menjadi alasan agar KPK memiliki ketentuan SP3.
(Baca juga: KPK Berharap Sosialisasi RUU KPK Tak Berujung Revisi)
Terakhir, perekrutan penyelidik dan penyidik KPK perlu mendapat perhatian. Bila RUU itu disetujui, KPK tidak dapat lagi bisa mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri.
Ketentuan rekrutmen penyidik dan penyelidik dibahas dalam Pasal 43 hingga Pasal 45B. Pasal 43 ayat 1 menyebutkan, penyelidik KPK merupakan penyelidik yang diperbantukan dari kepolisian selama menjadi pegawai di KPK.
Sedangkan dalam Pasal 45 ayat 1, penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian, Kejaksaan, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang.
Pasal tersebut mengandung perluasan ketentuan dibandingkan UU KPK. Dalam Pasal 43 ayat 1 UU KPK, penyelidik KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Lalu, pada Pasal 45 ayat 1, penyidik KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
Miko menuturkan, ketentuan perekrutan itu memiliki pertentangan di dalam tubuh RUU. Dalam Pasal 45 ayat 3 misalnya, disebutkan bahwa pimpinan KPK dapat mengangkat penyidik sendiri sesuai dengan persyaratan sebagaimana yang diatur dalam RUU tersebut.
Pasal 45 ayat 1 UU 30/2002 sedianya pernah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi oleh Otto Cornelis Kaligis pada November 2016 lalu. MK menolak permohonan uji materi dengan berkesimpulan pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
"Nah, justru semakin aneh kalau bertentangan di batang tubuh sendiri. Terlebih, tidak ada urgensinya, karena dengan kondisi sekarang pun KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri sesuai UU KPK dan putusan MK," ujar Miko.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.