JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi kembali bergulir setelah munculnya wacana dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Badan Keahlian DPR telah melakukan sosialisasi di Universitas Andalas dan Universitas Nasional terkait wacana revisi UU KPK. Dua universitas lain menyusul pada 23 Maret 2017, yakni Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sumatera Utara.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting menilai revisi UU KPK belum diperlukan. Selain itu, draf revisi tersebut dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Miko menyebutkan, terdapat beberapa ketentuan yang berimplikasi pada kewenangan KPK. Ia khawatir rencana revisi itu justru akan melemahkan KPK dalam melaksanakan tugasnya.
Pertama, terkait dengan adanya pembentukan Dewan Pengawas. Dalam draf revisi yang didapat Kompas.com, Dewan Pengawas tertuang dalam Pasal 37A hingga Pasal 37F.
Dalam Pasal 37B ayat 1 huruf (a) menyebutkan, Dewan Pengawas bertujuan untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dewan Pengawas terdiri dari lima orang dengan masa jabatan selama empat tahun.
Dalam Pasal 37B ayat 1 huruf (b), Dewan Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan. Dewan Pengawas dipilih oleh DPR.
Miko menilai, konsep pembentukan Dewan Pengawas tidak jelas dan dapat bertentangan dengan UU KPK saat ini.
Begitu juga kewenangan Dewan Pegawas yang menyusun kode etik untuk pimpinan KPK. Sistem kontrol di internal KPK, menurut Miko, telah tercipta melalui pengambilan keputusan yang tidak didasari pada satu orang.
"Di institusi KPK sendiri, pola pengambilan keputusan yang tidak bisa dikuasai satu orang melainkan harus kolektif kolegial juga bagian dari sistem saling kontrol," ucap Miko saat dihubungi, Jumat (31/3/2017).
"Penyelidik, penyidik, penuntut, dan pimpinan punya mekanisme ekspose yang juga bagian dari sistem saling kontrol," kata dia.
Kedua, terkait penyadapan yang juga mendapat tempat dalam draf revisi. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 12A hingga Pasal 12E.
Selain harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas selama 1x24 jam sebelum penyadapan dilakukan, Pasal 12A menyebutkan penyadapan dapat dilakukan bila telah memiliki bukti permulaan yang cukup.
Bukti permulaan yang cukup merupakan syarat seseorang untuk dijadikan tersangka untuk menuju tahap penyidikan.
Artinya, sebelum itu penyadapan tidak mungkin terjadi. Akibatnya, operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi jurus jitu KPK semakin kecil kemungkinannya untuk dilakukan.
Dari OTT misalnya, KPK telah menetapkan 56 tersangka dari 17 OTT sepanjang 2016. Para tersangka itu terdiri dari berbagai elemen pekerjaan, yakni penegak hukum, anggota legislatif, kepala daerah, dan pihak swasta.
Menurut Miko, ketentuan tersebut mencampuradukkan kewenangan pengawasan lembaga dengan pengawasan terhadap kewenangan pro justitia. Dalam UU 30/2002, penyadapan dilakukan atas izin pimpinan KPK.
"Apabila digeser, maka terjadi perbenturan dengan UU KPK sendiri dan akan terjadi dualisme kepemimpinan di KPK. Izin penyadapan ini akan berpengaruh pada kinerja KPK. OTT kan dari hasil penyadapan," ucap Miko.
(Baca juga: Agus Rahardjo Harap Jokowi Tak Lanjutkan Revisi UU KPK)
Ketiga, dalam draf revisi UU KPK terdapat klausul tentang surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan penuntutan. Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 40.
Dalam Pasal 40 ayat 2, penghentian penyidikan harus disertai alasan dan bukti yang cukup. Penghentian penyidikan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu pekan setelah surat dikeluarkan.
Menurut Miko, tidak perlu ada ketentuan SP3. Sebab, kualitas penyidikan dan bukti permulaan yang dimiliki KPK berkualitas tinggi dan didukung forum ekspose.
"Saya kira tidak ada urgensinya mengingat conviction rate KPK masih cukup baik sejauh ini. Apabila ada tersangka atau terdakwa yang sakit keras atau meninggal, KPK bisa mengajukan tuntutan bebas ke pengadilan," ucap Miko.
Selama ini, adanya tersangka atau terdakwa yang sakit keras dan meninggal memang menjadi alasan agar KPK memiliki ketentuan SP3.
(Baca juga: KPK Berharap Sosialisasi RUU KPK Tak Berujung Revisi)
Terakhir, perekrutan penyelidik dan penyidik KPK perlu mendapat perhatian. Bila RUU itu disetujui, KPK tidak dapat lagi bisa mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri.
Ketentuan rekrutmen penyidik dan penyelidik dibahas dalam Pasal 43 hingga Pasal 45B. Pasal 43 ayat 1 menyebutkan, penyelidik KPK merupakan penyelidik yang diperbantukan dari kepolisian selama menjadi pegawai di KPK.
Sedangkan dalam Pasal 45 ayat 1, penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian, Kejaksaan, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang.
Pasal tersebut mengandung perluasan ketentuan dibandingkan UU KPK. Dalam Pasal 43 ayat 1 UU KPK, penyelidik KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Lalu, pada Pasal 45 ayat 1, penyidik KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
Miko menuturkan, ketentuan perekrutan itu memiliki pertentangan di dalam tubuh RUU. Dalam Pasal 45 ayat 3 misalnya, disebutkan bahwa pimpinan KPK dapat mengangkat penyidik sendiri sesuai dengan persyaratan sebagaimana yang diatur dalam RUU tersebut.
Pasal 45 ayat 1 UU 30/2002 sedianya pernah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi oleh Otto Cornelis Kaligis pada November 2016 lalu. MK menolak permohonan uji materi dengan berkesimpulan pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
"Nah, justru semakin aneh kalau bertentangan di batang tubuh sendiri. Terlebih, tidak ada urgensinya, karena dengan kondisi sekarang pun KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri sesuai UU KPK dan putusan MK," ujar Miko.