JAKARTA, KOMPAS.com — Semasa hidupnya, Raden Ajeng Kartini mungkin tak pernah berpikir untuk menjadi seorang tokoh emansipasi perempuan, apalagi berkeinginan untuk menjadi seorang pahlawan nasional yang namanya terus dikenang hingga saat ini.
Melalui surat-suratnya, Kartini mengungkap banyak hal mengenai cara pandangnya terhadap kondisi sosial perempuan di Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Lewat suratnya juga, Kartini berupaya menjelaskan betapa perempuan memiliki hak untuk menuntut ilmu dan meraih cita-cita.
Salah satu cita-cita Kartini yang tak pernah tercapai adalah keinginannya untuk datang ke Jakarta dan menempuh pendidikan menjadi seorang dokter.
Hal itu tertulis dalam surat Kartini yang dikutip dari buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno. Surat tersebut ditujukan bagi Nyonya MCE Ovink Soer, sahabat pena Kartini.
"Nah, apabila sekarang kami tidak ke negeri Belanda, bolehkah saya ke Betawi untuk belajar jadi dokter?" tulis Kartini dalam suratnya.
Dalam lanjutan suratnya, Kartini berupaya menggambarkan kultur patriarki di Jawa, yang dipandang menghambat kemajuan perempuan saat itu.
Untuk saat itu, pergi ke tempat yang jauh untuk menempuh pendidikan bukanlah sesuatu yang lazim dilakukan oleh perempuan.
Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang tak lain adalah ayah Kartini tentu tak bisa begitu saja mengabulkan keinginan Kartini.
"Bahwa saya tidak boleh lupa, bahwa saya seorang orang Jawa, bahkan sekarang belum mungkin. Apabila sekarang belum dapat, setidaknya saya akan mengalami kesulitan yang luar biasa, mungkin sebab yang pertama-tama karena saya perempuan."
Gagal menjadi seorang dokter tak membuat Kartini menyerah. Keinginannya untuk menjadi mandiri dan mengabdi kepada masyarakat menemui titik terang saat ia diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru.
"Aduh! Ibu, seolah-olah langit membelah. Kenikmatan yang tak terhingga tampak kepada saya, membuat mata silau, membuat saya mabuk, ketika tak lama kemudian saya mendengar Ayah berkata: 'itu bagus, itu baik sekali! Itu boleh kamu kerjakan!"
Mendapat restu dari ayahnya bukan sesuatu hal yang mudah bagi Kartini. Lagi-lagi budaya dan kebiasaan yang berlaku pada saat itu membuat dia merasa berat hati untuk meminta izin dari ayahnya.
Dalam suratnya, Kartini melukiskan betapa ia selama berbulan-bulan merasa pedih hati dan bimbang dalam menentukan sikap.
Kartini bahkan menyebut dirinya sebagai pribadi yang lemah, pengecut, karena tidak mempunyai keberanian untuk melukai hati ayahnya.