Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Naskah Akademik dan Draf Revisi UU Tak Sinkron, Bukti Lain Pelemahan KPK

Kompas.com - 17/02/2016, 09:25 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Naskah akademik dan draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sinkron.

Sejumlah perubahan yang diatur dalam naskah akademik berbeda atau bahkan tidak ada dalam draf yang kini telah disepakati oleh DPR.

Dalam naskah akademik yang didapat Kompas.com dari Badan Legislasi DPR, Selasa (16/2/2016), disebutkan bahwa izin penyadapan yang dilakukan KPK harus melalui ketua pengadilan.

Hal ini untuk mencegah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penyadapan yang dilakukan KPK.

Kesewenang-wenangan itu jika penyadapan dilakukan terhadap pihak-pihak yang belum dilakukan proses pro justicia atau proses penyidikan.

Padahal, draf RUU KPK Pasal 12 yang sudah disepakati saat ini mengatur bahwa penyadapan harus seizin dewan pengawas.

Dalam naskah akademik masih diatur kewenangan penuntutan KPK.

Dijelaskan bahwa penuntutan yang selama ini sudah menjadi salah satu kewenangan KPK perlu dihilangkan dan dikembalikan menjadi kewenangan kejaksaan.

Dengan begitu, tidak terjadi tumpang tindih antara KPK dan kejaksaan.

Sementara, dalam draf revisi yang sudah disepakati sejauh ini, tak diatur mengenai wewenang penuntutan KPK.

Dalam naskah akademik juga masih diatur mengenai pelimpahan kasus dari KPK kepada Kepolisian atau Kejaksaan. Pelimpahan ini dilakukan apabila kasus yang ditangani KPK ternyata memiliki kerugian negara kurang dari Rp 1 miliar.

Sementara, Pasal 11 huruf c UU KPK mengatur bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang menyakut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Selain itu, draf yang telah disepakati juga tak mengatur mengenai pelimpahan kasus.

Memang berbeda

Pengusul revisi UU KPK Risa Mariska mengakui perbedaan naskah akademik dengan draf revisi yang saat ini sudah disepakati.

Menurut dia, hal tersebut terjadi karena naskah akademik tersebut sudah dibuat oleh pengusul sejak Oktober 2015 lalu.

Setelah itu, muncul berbagai perkembangan sehingga poin-poin yang akan direvisi dalam UU KPK berubah.

"Pada saat itu ada 8 poin yang akan diubah. Setelah ada pembahasan, ramai kan. Setelah ramai itu kita evaluasi, dengar masukan berbagai pihak, jadilah hanya empat poin," kata Risa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/2/2016).

Politisi PDI-P ini, menilai, naskah akademik tersebut tidak perlu diperbarui dan disesuaikan dengan draf RUU yang sudah disepakati saat ini.

Sebab, naskah akademik itu hanya merupakan sebuah landasan awal.

"Enggak masalah itu kan (berubah) setelah pembahasan, artinya legal standing sudah ada, dasarnya sudah ada," ujar dia.

Risa mengatakan, bukan tidak mungkin pembahasan revisi UU KPK akan kembali melebar selama masih mengikuti naskah akademik yang ada.

Jika pembahasan di Baleg menyepakati bahwa penuntutan KPK perlu dihilangkan dan dialihkan ke Kejaksaan, kata dia, maka hal tersebut bisa saja direalisasikan.

"Itu tergantung pembahasan di Badan Legislasi DPR. Barang ini kan sudah di Baleg, bukan lagi di pengusul," kata Risa.

Pelemahan

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus menilai, tak sinkronnya naskah akademik dan draf RUU KPK ini menjadi bukti lain upaya pelemahan KPK.

Pelemahan KPK tidak hanya tergambar pada pasal-pasal yang akan diubah, tapi juga proses pembuatan RUU itu sendiri.

Menurut dia, draf RUU seharusnya selalu mengacu pada naskah akademik yang biasanya berisi kajian teoritik tentang prinsip-prinsip dasar yang ingin diatur melalui RUU tertentu.

Naskah akademik merupakan basis teoritik sementara draf merupakan operasional dari teori yang dituangkan dalam bentuk aturan-aturan teknis RUU.

"Jadi mestinya antara kaidah teoritik dalam Naskah Akademik dengan draf-draf peraturan dalam RUU sedapat mungkin sinkron karena draf dibikin berdasarkan NA," kata Lucius.

Jika ditemukan adanya ketidaksinkronan antara naskah akademik dan draf RUU KPK, lanjut Lucius, maka itu hanya menegaskan betapa muatan kepentingan partai pengusul untuk melemahkan KPK sangat besar dalam revisi ini.

Ia mengatakan, mungkin saja penyusun naskah akademik adalah pihak lain yang berbeda dari penyusun draf dan tak mengacu pada naskah akademik.

"Intinya kepentingan yang kuat dari partai membuat konsep teoritik sebagai acuan menjadi tak penting. Partai sudah bersikap dan berpendirian tertentu sebelum naskah akademik mereka buat.  Jadi kepentingan sepihak parpol yang menjadi rujukan revisi,  bukan konsep ilmiah yang tertuang melalui naskah akademik," papar Lucius.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Bamsoet Sebut Golkar Siapkan Karpet Merah jika Jokowi dan Gibran Ingin Gabung

Nasional
ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

ICW Desak KPK Panggil Keluarga SYL, Usut Dugaan Terlibat Korupsi

Nasional
Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Jokowi Masih Godok Susunan Anggota Pansel Capim KPK

Nasional
Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Bamsoet Ingin Bentuk Forum Pertemukan Prabowo dengan Presiden Sebelumnya

Nasional
Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di 'Gala Dinner' KTT WWF

Senyum Jokowi dan Puan saat Jumpa di "Gala Dinner" KTT WWF

Nasional
ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta 'Money Politics' Dilegalkan

ICW Minta MKD Tegur Hugua, Anggota DPR yang Minta "Money Politics" Dilegalkan

Nasional
Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum 'Gala Dinner' WWF di Bali

Momen Jokowi Bertemu Puan sebelum "Gala Dinner" WWF di Bali

Nasional
Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Anak SYL Percantik Diri Diduga Pakai Uang Korupsi, Formappi: Wajah Buruk DPR

Nasional
Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Vibes Sehat, Perwira Pertamina Healing dengan Berolahraga Lari

Nasional
Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nyalakan Semangat Wirausaha Purna PMI, Bank Mandiri Gelar Workshop “Bapak Asuh: Grow Your Business Now!”

Nasional
Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Data ICW: Hanya 6 dari 791 Kasus Korupsi pada 2023 yang Diusut Pencucian Uangnya

Nasional
UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

UKT Meroket, Anies Sebut Keluarga Kelas Menengah Paling Kesulitan

Nasional
Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Anies Ungkap Kekhawatirannya Mau Maju Pilkada: Pilpres Kemarin Baik-baik Nggak?

Nasional
MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

MKD DPR Diminta Panggil Putri SYL yang Diduga Terima Aliran Dana

Nasional
Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Kemenag: Jemaah Umrah Harus Tinggalkan Saudi Sebelum 6 Juni 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com