Di saat yang bersamaan, Soerastri tengah mengandung anak pertamanya. Putera pertama yang diberi nama Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) itu akhirnya tumbuh di dalam sel penjara.
Pada saat mengandung anaknya yang kedua pada tahun 1941, Soerastri kembali masuk ke dalam penjara. Bulan Juni 1942, anak kedua itu lahir dan diberi nama Heru Baskoro. Lagi-lagi, seperti kakaknya, Heru dibesarkan di dalam penjara.
Masa Tua Hidup Sederhana
Sebagai salah seorang menteri, Soerastri sebenarnya mendapat jatah rumah di kawasan elite, Menteng, Jakarta Pusat. Namun, jatah rumah itu ditolaknya.
Perempuan berwatak keras ini lebih memilih hidup sederhana di Jalan Kramat Lontar H-7, Senen, Jakarta Pusat. Pemilihan itu dilakuan Soerastri karena dia ingin lebih dekat dengan rakyat kelas bawah.
Meski umur mulai menggerogoti tubuhnya, namun semangat Soerastri masih tetap terjaga. Hidup sederhana tak membuatnya sepi kegiatan.
Pada masa orde Baru, Soerastri diketahui masih aktif mengikuti diskusi Petisi 50 dengan menggunakan bus.
"Sebelum itu (kecelakaan hebat yang membuat Soerastri berjalan pakai tongkat), Ibu masih pergi ke mana-mana. Pada usia 82 tahun Ibu masih naik bus," ucap sang anak, Heru seperti yang dimuat dalam artikel Kompas, 10 September 2007.
Pekerjaan di rumah juga dilakukan Soerastri seorang diri seperti mencuci piring hingga mencuci baju.
Tepat di hari kebangkitan Nasional, 20 Oktober 2008, Soerastri dipanggil Tuhan Yang Maha Esa di usia ke-96. Di hari itu pula, rekannya, Ali Sadikin juga turut dipanggilan Yang Kuasa. Indonesia kehilangan dua tokoh besarnya.
Semangat juang Soerastri, setidaknya memberikan pelarajan mendalam bagi bangsa Indonesia. Kesederhanaannya juga seharusnya menampar jiwa serakah pejabat di negeri ini.
Asvi Warman Adam menganggap, SK Trimurti adalah seorang tokoh yang layak diberikan gelar pahlawan nasional.
Kini Soerastri telah tiada, namun pemikiran dan tindakannya selalu patut dicontoh para pemimpin negeri ini.
“Terdapat pemimpin-pemimpin yang baik, pemimpin-pemimpin yang kurang baik dan pemimpin-pemimpin yang tidak baik, yang bukan menguntungkan rakyat, tetapi malah merugikan rakyat,” tulis Soerastri dalam Harian Nasional , 16 Agustus 1960.