Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

SK Trimurti, Srikandi Revolusi yang Tolak Kursi Menteri

Kompas.com - 16/11/2015, 06:30 WIB
Sabrina Asril

Editor

KOMPAS.com – Tubuhnya kurus dan mungil, namun raut wajahnya tegas. Dia berani banting setir dari pekerjaan nyaman sebagai seorang guru menjadi jurnalis yang mengkritik kolonialisme.

Meski seorang perempuan, dia tak gentar meski harus keluar masuk penjara akan keyakinannya. Itulah Soerastri atau yang lebih dikenal dengan Soerastri Karma Trimurti (SK Trimurti).

Soerastri terbilang unik. Di saat banyak orang di negeri ini berloma-lomba menjadi pejabat, dia justru menolaknya.

"Saya merasa tidak mampu, saya belum pernah menjadi menteri," kata Trimurti seperti yang dikutip oleh Soebagijo IN dalam bukunya, “SK Trimurti, Wanita Pengabdi  Bangsa”.

Namun, setelah dipertimbangkan matang, Soerastri akhirnya mau mengambil posisi sebagai Menteri Perburuhan pertama di kabinet Amir Syarifuddin I dan Amir Syarifuddin II.

Asvi Warman Adam, dalam bukunya “Menguak Misteri Sejarah”, menyebutkan gaji menteri di masa lampau tidak setinggi saat ini. Saat Soerastri memutuskan menjadi menteri, gajinya hanya Rp 750,- per bulan.

Padahal, saat menjadi jurnalis, kebutuhan Soerastri terpenuhi dengan penghasilan Rp 3.000,- per bulan dari hasil tulisannya di berbagai media massa.

Namun, demi mengabdi untuk negara, Soerastri tak ragu hidup sangat sederhana.

Selama menjadi menteri, dia terpaksa menjual barang-barang untuk keperluan hidup. Hal ini dilakuannya, karena sebagai menteri, dia tidak boleh “nyambi” pekerjaan lain.

Setelah menuntaskan tugas sebagai Menteri Perburuhan pertama, perempuan kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, 11 Mei 1912 itu kembali mendapat tawaran menjadi menteri.

Tawaran itu datang langsung dari Presiden Soekarno pada tahun 1959.

Namun, Soerastri kali ini berpendirian teguh, tidak mau lagi menjadi menteri. Alasannya kali ini, adalah karena ibu dua anak itu ingin melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Penolakan yang datang dari murid ideologisnya itu, membuat Bung Karno marah.

Jiwa Pejuang dari Keluarga Terpandang

Soerastri terlahir di sebuah keluarga yang termasuk terpandang di Boyolali. Dia lulus di Sekolah Ongko Loro, sebuah sekolah bentukan Belanda yang hanya bisa diakses oleh keluarga tokoh terkemuka dan bangsawan kala itu.

Setelah tamat, Soerastri melanjutkan studinya di Sekolah Guru dan berhasil lulus dengan angka terbaik. Dia pun diangkat sebagai guru di Banyumas.

Namun, Soerastri sangat kritis. Ketidakpuasannya akan kolonialisme, lambat laun membuat perempuan penyuka Yoga itu semakin tertarik dengan dunia politik.

Dia bahkan sampai menggunakan dokar dari Banyumas ke Purwokerto hanya untuk mendengarkan pidato umum Bung Karno.

Dia juga sempat berpidato pada rapat umum Partindo saat masih mengajar di Perguruan Rakyat. Akan tetapi, kenekatan Soerastri yang ketika itu mengkritik penjajah, membanya sampai ke kantor kepala polisi.

Sang kepala polisi senyum-senyum saja dan bilang, “Nona masih anak-anak. Lebih baik nona meneruskan sekolah daripada dihasut oleh Soekarno”.

Setelah peristiwa itu, semangat perjuangan Soerastri bukannya padam, justru semakin membara. Niatnya semakin tebal untuk melepas status sebagai guru dan beralih profesi sebagai jurnalis.

Dengan tintanya, Soerastri menciptakan tulisan-tulisan yang terus membuat gerah penjajah. Selama menjadi jurnalis, Soerastri sempat bekerja di sejumlah media massa seperti Genderang, Bedug, dan Pikiran Rakyat.

Dia pun memutuskan menambah dua kata di namanya, “Karma” dan “Trimurti” sebagai nama samaran dalam artikel-artikelnya. Kedua kata itu digunakannya silih berganti di setiap tulisan.

Besarkan Anak di Penjara

Pada tahun 1936, Soerastri akhirnya dijebloskan ke penjara Bulu, Semarang karena membuat pamflet anti-penjajahan. Selama sembilan bulan Soerastri mendekam di penjara.

Setelah keluar penjara, dia bertemu dengan Sayuti Melik, kelak dikenal sebagai pengetik naskah Proklamasi. Sayuti adalah seorang pejuang eks-Digoel. Mereka menikah pada tahun 1938.

Suatu ketika, Sayuti menulis pada harian Sinar Selatan yang dipimpin Soerastri. Pemuatan tulisan ini membuat Soerastri kembali dijebloskan ke dalam penjara selama dua bulan.

Di saat yang bersamaan, Soerastri tengah mengandung anak pertamanya. Putera pertama yang diberi nama Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) itu akhirnya tumbuh di dalam sel penjara.

Pada saat mengandung anaknya yang kedua pada tahun 1941, Soerastri kembali masuk ke dalam penjara. Bulan Juni 1942, anak kedua itu lahir dan diberi nama Heru Baskoro. Lagi-lagi, seperti kakaknya, Heru dibesarkan di dalam penjara.

Masa Tua Hidup Sederhana

Sebagai salah seorang menteri, Soerastri sebenarnya mendapat jatah rumah di kawasan elite, Menteng, Jakarta Pusat. Namun, jatah rumah itu ditolaknya.

Perempuan berwatak keras ini lebih memilih hidup sederhana di Jalan Kramat Lontar H-7, Senen, Jakarta Pusat. Pemilihan itu dilakuan Soerastri karena dia ingin lebih dekat dengan rakyat kelas bawah.

Meski umur mulai menggerogoti tubuhnya, namun semangat Soerastri masih tetap terjaga. Hidup sederhana tak membuatnya sepi kegiatan.

Pada masa orde Baru, Soerastri diketahui masih aktif mengikuti diskusi Petisi 50 dengan menggunakan bus.

"Sebelum itu (kecelakaan hebat yang membuat Soerastri berjalan pakai tongkat), Ibu masih pergi ke mana-mana. Pada usia 82 tahun Ibu masih naik bus," ucap sang anak, Heru seperti yang dimuat dalam artikel Kompas, 10 September 2007.

Pekerjaan di rumah juga dilakukan Soerastri seorang diri seperti mencuci piring hingga mencuci baju.

Tepat di hari kebangkitan Nasional, 20 Oktober 2008, Soerastri dipanggil Tuhan Yang Maha Esa di usia ke-96. Di hari itu pula, rekannya, Ali Sadikin juga turut dipanggilan Yang Kuasa. Indonesia kehilangan dua tokoh besarnya.

Semangat juang Soerastri, setidaknya memberikan pelarajan mendalam bagi bangsa Indonesia. Kesederhanaannya juga seharusnya menampar jiwa serakah pejabat di negeri ini.

Asvi Warman Adam menganggap, SK Trimurti adalah seorang tokoh yang layak diberikan gelar pahlawan nasional.

Kini Soerastri telah tiada, namun pemikiran dan tindakannya selalu patut dicontoh para pemimpin negeri ini.

“Terdapat pemimpin-pemimpin yang baik, pemimpin-pemimpin yang kurang baik dan pemimpin-pemimpin yang tidak baik, yang bukan menguntungkan rakyat, tetapi malah merugikan rakyat,” tulis Soerastri dalam Harian Nasional , 16 Agustus 1960.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Nasional
Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Nasional
Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Nasional
Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Nasional
297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

Nasional
Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com