Angka setinggi ini belum pernah terjadi sejak Indonesia berdiri. Arus globalisasi dan liberalisasi, seperti kapitalisasi sumber daya alam, komunikasi, pendidikan, dan kesehatan, sudah telanjur merasuk di seluruh sendi kehidupan bernegara. Hasilnya, sebagian besar responden merasakan bahwa keadilan ekonomi memburuk (61 persen).
Selain ancaman yang makin beragam, di sisi lain ingatan publik tentang Pancasila sebenarnya relatif membaik. Lebih dari separuh responden ingat dan mampu menyebut secara benar lima sila dalam Pancasila, relatif meningkat dari proporsi tahun-tahun sebelumnya. Tak hanya penyebutan, bahkan dalam konteks penerimaan secara formal, nyaris semua responden (93 persen) menyatakan menerima Pancasila sebagai sebuah gagasan dasar negara. Kondisi penerimaan terhadap Pancasila, berlandaskan jajak pendapat, relatif stabil selama dekade ini.
Jika pengetahuan dan penerimaan Pancasila semakin baik, mengapa justru sikap tidak Pancasilais dinilai makin marak dan menjadi ancaman?
Sikap elite
Publik saat ini melihat pengamalan Pancasila adalah persoalan perspektif elite penyelenggara negara. Sistem penyelenggaraan hukum, ekonomi, dan sosial yang tak Pancasilais menjadi acuan utama publik dalam menilai konsistensi antara gagasan ideologi negara dan interpretasinya di tingkat masyarakat bawah. Semakin jauh jarak gagasan ideal Pancasila dan realisasi di tataran perilaku, makin buruk penilaian publik.
Penilaian tersebut juga terjadi dalam konteks nilai sosial yang melingkupi individu dan kelompok masyarakat itu sendiri, sesuai dengan berbagai identitas sosial yang mereka pegang. Misalnya, soal kebijakan pusat atau daerah yang dinilai bersifat diskriminatif dan melanggar kebebasan beragama, bahkan hak asasi manusia. Qanun jinayat, hukuman mati, dan soal pembangunan rumah ibadah adalah contoh paling nyata sistem nilai berdasarkan Pancasila kini semakin "diuji" oleh publik yang makin agamis sekaligus makin terbuka terhadap informasi.
Jawaban publik terhadap kondisi pelaksanaan toleransi di masyarakat pun cenderung ambigu. Meski separuh lebih responden menyebut toleransi kini semakin baik, proporsi yang menilai semakin buruk juga cukup besar, berkisar 26 persen. Selain itu, hampir separuh publik jajak pendapat menilai penempatan persatuan di atas kepentingan golongan terus memburuk.
Ini termasuk "lampu kuning" karena berarti ada kegelisahan terkait adanya tegangan di masyarakat dalam nilai-nilai dasar yang menjadi acuannya.
Celakanya, banyaknya persoalan itu tidak membuat wakil rakyat merasa perlu memprioritaskan persoalan-persoalan semacam ini, yang diam-diam menggoyahkan sendi kebersamaan kehidupan berbangsa. Seperti dalam berbagai kasus di DPR belakangan ini, para wakil rakyat masih lebih sibuk bermain "politik pasca pemilu" di seputar perebutan sumber-sumber daya ekonomi dan lingkar kekuasaan.