Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/03/2015, 15:04 WIB


Oleh: Yonky Karman

JAKARTA, KOMPAS - "Ya, kekuasaan mempunyai jantung dan wajahnya sendiri. Dia hanya moral berlapis-lapis menurut kebutuhan." (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, 716). Begitulah ucapan Pangemanann, seorang Indo, yang ingin menoleransi pragmatisme politiknya saat menangkap sang tokoh nasionalis.

Sejak kisruh proses hukum antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bandul politik penegakan hukum di Indonesia, perlahan tetapi pasti, sedang bergerak ke arah pragmatisme politik. Sebuah situasi yang lebih buruk daripada era kepemimpinan presiden sebelumnya. Kisruh yang berakhir dramatis tersebut bukan karena kosongnya hukum yang mengatur, melainkan proses hukum berkelindan dengan kekuasaan.

Proses hukum yang semestinya berlangsung sederhana ternyata penyelesaiannya menjadi berlarut-larut, mencederai netralitas institusi kepolisian, melahirkan kriminalisasi dan putusan praperadilan yang kontroversial. Bermunculan individu yang melakukan manuver hukum dengan berlindung di balik marwah institusi.

Sejatinya, drama proses hukum itu merupakan buah pertarungan kepentingan politik kekuasaan. Seandainya tidak ada pertarungan itu, proses hukum tidak akan menimbulkan kegaduhan politik.

Banalisasi hukum

Secara definisi, kriminalisasi adalah pemidanaan suatu tindakan yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana. Bisa saja suatu tindakan termasuk pelanggaran kode etik jabatan, pelanggaran administratif, pelanggaran hukum perdata, atau sebenarnya peristiwa pidana, tetapi belum sempat tercium penegak hukum.

Apabila kriminalisasi terjadi untuk kasus-kasus bukan pidana, tentu akan muncul pertanyaan: ada apa di balik pemidanaan itu? Sayangnya, belum pernah kita mendengar sanksi bagi penyidik yang ceroboh memidanakan orang. Karena itu, terbukalah peluang besar bagi kesewenang-wenangan penegak hukum. Pidanakan dulu biar nanti pengadilan yang memutuskan apakah perkaranya sendiri termasuk pidana atau bukan.

Di wilayah hukum negara-negara persemakmuran Inggris, dibedakan antara pelanggaran hukum malum in se dan malum prohibitum. Ungkapan Latin malum in se adalah tindakan salah karena memang salah. Itulah iussum quia iustum, sesuatu diperintahkan (iussum) karena benar (iustum). Kejahatan dalam golongan ini memang pada dasarnya jahat. Malum prohibitum adalah tindakan salah karena dilarang hukum. Itulah iustum quia iussum, sesuatu benar (iustum) karena diperintahkan (iussum), diatur oleh hukum.

Mengabaikan distingsi pelanggaran hukum ini membuat tidak jelas siapa yang sebenarnya penjahat. Kesalahan pengemudi yang melawan arus lalu lintas tentu tidak dapat dibandingkan dengan penegak hukum yang menerima suap dari pengemudi tersebut. Pelanggaran dalam administrasi kependudukan tentu tidak dapat dibandingkan dengan kebiasaan atasan menerima upeti dari bawahannya.

Meski disangkal, publik tidak bodoh membaca bahwa pemimpin dan personel KPK dicari-cari kesalahannya layaknya penjahat yang menjadi target operasi khusus. Mereka memang bukan malaikat, tetapi jelas bukan koruptor, apalagi penjahat. Gara-gara itu, institusi yang khusus menangani kejahatan luar biasa (korupsi) mengalami pelemahan serius. Ujungnya adalah pengakuan kalah. Pemenangnya, pihak yang hendak memberi pelajaran kepada KPK.

Selalu ada ambiguitas sikap politik terkait keberadaan KPK. Oleh karena itu, pelemahan KPK dibiarkan. Kriminalisasi kasus remeh-temeh bergulir begitu mudah, tanpa koreksi sedikit pun dari legislatif dan eksekutif. Bahkan, yudikatif memperkeruh suasana dengan menjungkirbalikkan hukum positif. Begitu mudahnya para pencari sensasi mendapat panggung publik di republik ini.

Penguasa hukum

Di Indonesia, penegak hukum sering berperilaku sebagai penguasa daripada hamba hukum. Dengan kasatmata pelanggaran hukum dibiarkan di jalan raya, ironisnya ada yang karena membayar pungutan liar. Sopir angkutan umum yang membayar sejumlah uang kepada kolektor dengan berani melakukan pelanggaran lalu lintas di sepanjang rute yang dilalui dan menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan.

Di tengah penegakan hukum yang lemah, hukum bisa tiba-tiba tegak karena subyek hukum tidak memiliki akses kepada kekuasaan. Ketika penguasa memiliki kepentingan, masuklah unsur politis dalam penegakan hukum. Masyarakat pun tidak mudah percaya dengan pernyataan normatif bahwa proses hukum dilakukan secara independen dan profesional.

Ada banyak laporan dari masyarakat, tetapi tidak jelas mengapa yang satu segera ditindaklanjuti dan yang lain dibiarkan. Prioritas proses hukum seharusnya tergantung besar-kecilnya perkara menyangkut kepentingan dan kerugian masyarakat. Apabila itu terjadi, tidak perlu ada pemidanaan untuk Nenek Asyani yang melukai rasa keadilan masyarakat. Itulah realitas buruk administrasi penegakan hukum kita.

Wacana pemberian remisi bagi koruptor adalah langkah mundur lain dalam penanganan kasus korupsi yang tergolong kejahatan luar biasa. Rasa keadilan masyarakat banyak yang paling dirugikan oleh keserakahan koruptor kembali diabaikan. Dalam kemelut dualisme kepemimpinan partai, hukum pun hendak dibelokkan untuk mengamankan stabilitas politik dalam jangka pendek.

Marwah lembaga penegak hukum hendak dibangun berdasarkan politik pencitraan, bukan penegakan hukum internal yang tidak pandang bulu. Citra bersih suatu institusi penegak hukum sejatinya amat ditentukan oleh kesan dan kesimpulan masyarakat yang sehari-hari langsung berurusan dengan institusi tersebut. Buruknya indeks persepsi korupsi untuk Indonesia bukan karena korupsi individual, melainkan korupsi yang melembaga dalam suatu budaya korup.

Apabila hukum dibiarkan berjalan tanpa intervensi yang meluruskan, para pelanggar hukum yang memiliki akses pada kekuasaan akan gembira. Karena itu, rakyat Indonesia memilih presiden dengan harapan terjadi reformasi lembaga penegak hukum. Reformasi tidak sama dengan tindakan heroik sewaktu-waktu. Itu perubahan secara drastis untuk perbaikan politik penegakan hukum.

Reformasi tak akan terjadi tanpa keberanian politik dari pemimpin yang memiliki keutamaan moral. Indonesia tidak membutuhkan pemimpin heroik. Cukup pemimpin biasa dengan keberanian untuk meluruskan politik penegakan hukum yang sedang berjalan mundur.

Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Rabu (25/3/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Jokowi Tawarkan Kaesang ke Parpol, Sekjen PDI-P: Replikasi Pilpres

Soal Jokowi Tawarkan Kaesang ke Parpol, Sekjen PDI-P: Replikasi Pilpres

Nasional
KPK Segera Buka Data Caleg Tak Patuh Lapor Harta Kekayaan

KPK Segera Buka Data Caleg Tak Patuh Lapor Harta Kekayaan

Nasional
KPK Kembali Minta Bantuan Masyarakat soal Buronan Harun Masiku

KPK Kembali Minta Bantuan Masyarakat soal Buronan Harun Masiku

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Bantah Hasto Menghilang | Kominfo Tak Respons Permintaan 'Back Up' Data Imigrasi

[POPULER NASIONAL] PDI-P Bantah Hasto Menghilang | Kominfo Tak Respons Permintaan "Back Up" Data Imigrasi

Nasional
Tanggal 2 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 2 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Anggota DPR: PDN Itu Seperti Brankas Berisi Emas dan Berlian, Obyek Vital

Anggota DPR: PDN Itu Seperti Brankas Berisi Emas dan Berlian, Obyek Vital

Nasional
Kuasa Hukum Sebut Staf Hasto Minta Perlindungan ke LPSK karena Merasa Dijebak KPK

Kuasa Hukum Sebut Staf Hasto Minta Perlindungan ke LPSK karena Merasa Dijebak KPK

Nasional
Kuasa Hukum Bantah Hasto Menghilang Setelah Diperiksa KPK

Kuasa Hukum Bantah Hasto Menghilang Setelah Diperiksa KPK

Nasional
Pejabat Pemerintah Dinilai Tak 'Gentle' Tanggung Jawab Setelah PDN Diretas

Pejabat Pemerintah Dinilai Tak "Gentle" Tanggung Jawab Setelah PDN Diretas

Nasional
Tutup Bulan Bung Karno, PDI-P Gelar 'Fun Run' hingga Konser di GBK Minggu Besok

Tutup Bulan Bung Karno, PDI-P Gelar "Fun Run" hingga Konser di GBK Minggu Besok

Nasional
Beri Sinyal Poros Ketiga di Pilkada Jakarta, PDI-P: Kami Poros Rakyat

Beri Sinyal Poros Ketiga di Pilkada Jakarta, PDI-P: Kami Poros Rakyat

Nasional
Kasus Ahli Waris Krama Yudha Jadi Momentum Reformasi Hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia

Kasus Ahli Waris Krama Yudha Jadi Momentum Reformasi Hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia

Nasional
Gaspol! Hari Ini: Di Balik Layar Pencalonan Anies Baswedan-Sohibul Iman

Gaspol! Hari Ini: Di Balik Layar Pencalonan Anies Baswedan-Sohibul Iman

Nasional
PAN Pertimbangkan Kaesang jika Ridwan Kamil Tak Maju di Pilkada DKI

PAN Pertimbangkan Kaesang jika Ridwan Kamil Tak Maju di Pilkada DKI

Nasional
PDI-P Buka Peluang Usung Anies Baswedan, tapi Tunggu Restu Megawati

PDI-P Buka Peluang Usung Anies Baswedan, tapi Tunggu Restu Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com