JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, pihaknya kecewa dengan pelaksanaan otonomi daerah. Sebagian besar pemerintah daerah pasca-otonomi daerah dinilai tidak menjalankan pemerintahan dengan baik.
"Kami kecewa karena apa yang dicapai menyimpang. Kami ingin diurus dengan amanah, sebaik-baiknya oleh pemda, tapi pemda dalam demokrasi yang liberal ini tidak melakukannya dengan baik," kata Djohermansyah atau akrab disapa Djo saat diskusi menyambut Hari Anti Korupsi Rakyat Menggugat Integritas di Jakarta, Jumat (6/12/2013).
Djohan mengatakan, tidak sulit membuktikan pernyataannya itu. Ia memberi contoh, dari situs 131 pemda, sebanyak 11 situs diantaranya tidak bisa dibuka. Ia mempertanyakan kemana saja bupati/walikota.
"Tidur atau tidak mengerti IT? Mungkin tidak ngerti IT. Jangan-jangan SMS aja tidak bisa. Karena punya uang banyak, jadilah dia walikota/bupati," katanya.
Dia menambahkan, masih banyak pemda yang tidak menjalankan instruksi Menteri Dalam Negeri selama ini. Celakanya, pihaknya tidak bisa berbuat banyak lantaran tidak ada aturan pemberian sanksi dalam UU Nomor 32 tahun 2004.
"Ini sistem tata pemerintahan yang buruk. Kalau ada bupati/walikota yang tidak jalankan instruksi, lalu dibiarkan saja, ini sistem kaya apa? Di UU nomor 32 tidak ada sanksi untuk kepala daerah yang tidak jalankan instruksi mendagri," ucapnya.
Untuk itu, pihaknya tengah merevisi UU Pemda agar bisa diberikan sanksi jika tidak menaati UU sekalipun kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Djohan juga mengkritik sikap kepala daerah yang tidak mengindahkan pakta integritas yang ditandatangani ketika dilantik. Ketika menjabat, mereka melakukan penyimpangan, salah satunya korupsi. Akhirnya, kata dia, sekitar 300 kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Kritikan lain perihal proses rekrutmen calon kepala daerah. Ia mengkritik syarat minimal menjadi kepala daerah, yakni 25 tahun. Ia memberi contoh ada kepala daerah yang masih berumur 26 tahun.
Di umur segitu, lanjutnya, jika di dunia kerja baru menjabat staf biasa dan minim pengalaman. Namun, ia mesti mengurus ribuan birokrat dan mengatur uang yang tidak sedikit.
"Gara-gara bapaknya kepala daerah sudah dua periode, lalu diserahkan keanaknya. Rakyat yang tidak paham malah memilih lagi," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.