Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ambang Batas Dinasti Politik

Kompas.com - 11/04/2013, 09:39 WIB
Oleh Umar Syadat Hasibuan

Dalam hitungan maju sejak kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diberlakukan, cengkeraman dinasti politik di setiap daerah semakin menguat. Pilkada makin ditandai dengan pesta keluarga.

Dalam lingkup sempit, horizontal dan vertikal, para anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah pejabat petahana mencalonkan diri dalam arena pilkada. Dalam arti luas, para keponakan dan menantu juga tak mau ketinggalan.

Selama satu dasawarsa terakhir, di sejumlah daerah, mata rantai alih kuasa dalam satu dinasti politik makin tak kenal jeda. Proses demokrasi di daerah dengan mekanisme pilkada hanya jadi pesta besar sejumlah dinasti. Kuasa dinasti yang mencengkeram sejumlah daerah ini pun berkelindan dengan kepentingan dinasti di level lokal dan nasional. Anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah kepala daerah pun ramai-ramai bertarung dalam kontes pemilu legislatif untuk DPRD, DPD, dan DPR. Sistem politik yang dibangun dengan semangat demokrasi makin dibajak oleh sejumlah dinasti.

Belenggu dinasti politik

Sudah saatnya kita belajar dari dampak negatif dinasti politik di sejumlah negara. Pada masa Orde Baru, dinasti politik telah menjadi ”momok” dan diyakini menjadi penyebab utama maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Data dari Kementerian Dalam Negeri mengidentifikasi ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik di beberapa daerah di Indonesia (2013). Dari 57 kepala daerah yang mencalonkan para anggota keluarga yang memiliki pertalian darah, hanya 17 di antaranya yang kalah di arena pilkada. Selebihnya, mereka menjadi pemenang menggantikan kekuasaan keluarganya.

Menguatnya politik dinasti di sejumlah daerah ini juga diwarnai maraknya potensi korupsi yang dilakukan para anggota keluarga dinasti yang berkuasa. Benar bahwa dinasti politik bukanlah satu-satunya faktor maraknya korupsi di daerah. Namun, makin rapatnya kuasa para dinasti di sejumlah daerah, korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN kian tak terhindarkan.

Menguatnya lapisan dinasti politik yang menyebar ke beberapa daerah ini membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia. Pertama, dominasi dan belenggu dinasti politik pada sistem politik dan parpol di Indonesia akan menumpulkan fungsi sistem politik sebagai mekanisme demokratis dalam mengawal kepentingan publik. Dalam jangka panjang dapat dipastikan akan makin mengerdilkan sistem politik karena sirkulasi elite dan kepemimpinan—yang mestinya bersifat terbuka—kian tertutup oleh dominasi kepentingan dinasti politik.

Kedua, dominasi dan belenggu dinasti politik menyeret sistem politik dan parpol ke arah ”personalisasi dan privatisasi kepentingan politik”. Dalam sistem demokrasi kesejahteraan, arena politik merupakan arena terbuka. Ada potensi besar di mana sumber daya ekonomi-politik yang diperjuangkan, diperoleh, dan dikelola oleh parpol—yang mestinya untuk kepentingan publik—pada akhirnya diprivatisasi oleh keluarga masing-masing.

Ketiga, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik ini juga akan semakin membusukkan budaya politik dan etika publik. Adanya proses perekrutan elite yang cenderung tertutup, dominasi penggunaan akses sumber daya ekonomi-politik yang terus dimonopoli keluarga, juga hasrat akumulasi kekuasaan selama beberapa fase generasi menjadikan arena politik semata-mata sebagai gelanggang perebutan aset publik.

Keempat, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik merusak efektivitas kinerja sistem politik. Sebab, institusi politik dan sistem politik dihuni oleh para elite dengan mental yang harus terus-menerus dilayani, bukan melayani. Padahal, arena politik dan sistem politik dimaksudkan untuk melahirkan pelayanan publik dan kebijakan yang benar-benar mengedepankan kepentingan publik.

Mencari ambang batas

Dominasi dan cengkeraman dinasti politik di daerah, bagaimanapun, harus dibatasi. Siapa pun yang memiliki akumulasi kekuasaan luar biasa dan berbasis kekerabatan cenderung sulit mengendalikan moral hazard yang dimilikinya untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan.

Maka, tepat jika RUU Pilkada yang saat ini diusulkan pemerintah mengusulkan adanya jeda pencalonan bagi keluarga dinasti politik, baik bersifat vertikal maupun horizontal. Pasal 70 (p) menyebutkan bahwa warga negara Republik Indonesia yang dapat ditetapkan jadi calon bupati/wali kota adalah yang tidak punya ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/wali kota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.

Ketentuan di atas jadi penting dimasukkan dalam RUU Pilkada mengingat potensi konflik kepentingan pejabat petahana terhadap calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah akan tak terhindarkan. Meski Pasal 93 Ayat (1) menyebutkan sejumlah larangan dalam kampanye adalah di mana calon kepala daerah tidak boleh melibatkan pejabat petahana hingga pegawai negeri, kepala desa dan perangkat desa, tetapi konflik kepentingan pasti sulit dihilangkan oleh pejabat yang anak, istri, adik, dan kakaknya jadi calon kepala daerah.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Polri Akan Cek dan Mitigasi Dugaan Data INAFIS Diperjualbelikan di 'Dark Web'

    Polri Akan Cek dan Mitigasi Dugaan Data INAFIS Diperjualbelikan di "Dark Web"

    Nasional
    Ingin Duetkan Kaesang dengan Zita Anjani, PAN: Sudah Komunikasi

    Ingin Duetkan Kaesang dengan Zita Anjani, PAN: Sudah Komunikasi

    Nasional
    Ada Tiga Anak Yusril, Ini Susunan Lengkap Kepengurusan Baru PBB

    Ada Tiga Anak Yusril, Ini Susunan Lengkap Kepengurusan Baru PBB

    Nasional
    Polri Usut Dugaan Pidana Terkait Serangan 'Ransomware' di PDN

    Polri Usut Dugaan Pidana Terkait Serangan "Ransomware" di PDN

    Nasional
    Siap Kembalikan Uang, SYL: Tetapi Berapa? Masa Saya Tanggung Seluruhnya...

    Siap Kembalikan Uang, SYL: Tetapi Berapa? Masa Saya Tanggung Seluruhnya...

    Nasional
    Heru Budi: Rusunawa Marunda Bakal Dibangun Ulang, Minimal 2 Tower Selesai 2025

    Heru Budi: Rusunawa Marunda Bakal Dibangun Ulang, Minimal 2 Tower Selesai 2025

    Nasional
    Pusat Data Nasional Diretas, Pengamat Sebut Kemekominfo-BSSN Harus Dipimpin Orang Kompeten

    Pusat Data Nasional Diretas, Pengamat Sebut Kemekominfo-BSSN Harus Dipimpin Orang Kompeten

    Nasional
    SYL Mengaku Menteri Paling Miskin, Rumah Cuma BTN Saat Jadi Gubernur

    SYL Mengaku Menteri Paling Miskin, Rumah Cuma BTN Saat Jadi Gubernur

    Nasional
    Uang dalam Rekening Terkait Judi Online Akan Masuk Kas Negara, Polri: Masih Dikoordinasikan

    Uang dalam Rekening Terkait Judi Online Akan Masuk Kas Negara, Polri: Masih Dikoordinasikan

    Nasional
    Anak-anak Yusril Jadi Waketum, Bendahara, dan Ketua Bidang di PBB

    Anak-anak Yusril Jadi Waketum, Bendahara, dan Ketua Bidang di PBB

    Nasional
    Satgas Judi Online Gelar Rapat Koordinasi Bareng Ormas Keagamaan

    Satgas Judi Online Gelar Rapat Koordinasi Bareng Ormas Keagamaan

    Nasional
    MUI Dorong Satgas Pemberantasan Judi Online Bekerja Optimal

    MUI Dorong Satgas Pemberantasan Judi Online Bekerja Optimal

    Nasional
    Saat SYL Singgung Jokowi Pernah Jadi Bawahannya di APPSI...

    Saat SYL Singgung Jokowi Pernah Jadi Bawahannya di APPSI...

    Nasional
    MUI Apresiasi Rencana Kemenag Edukasi Calon Pengantin Terkait Bahaya Judi Online

    MUI Apresiasi Rencana Kemenag Edukasi Calon Pengantin Terkait Bahaya Judi Online

    Nasional
    Pengadilan Tipikor Bakal Adili Lagi Perkara Hakim MA Gazalba Saleh

    Pengadilan Tipikor Bakal Adili Lagi Perkara Hakim MA Gazalba Saleh

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com