Menurut Dian, regulasi yang ada saat ini memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset yang merupakan hasil tindak pidana.
"Berdasarkan hasil pemantauan PPATK, diperoleh informasi bahwa upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal," kata Dian dalam webinar PPATK Legal Forum, Kamis (29/4/2021).
"Khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk di antaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia," ujar dia.
Dia menjelaskan, RUU Perampasan Aset telah diinisiasi penyusunannya oleh PPATK sejak 2003 dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan konsep Non-Conviction Based Forfeiture dari negara-negara yang menganut common law.
Dian berpendapat, pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai pengelolaan aset yang telah dirampas akan mendorong terwujudnya penegakan hukum yang profesional, transparan, dan akuntabel.
"Maka perlu membuat RUU Perampasan Aset ini," tuturnya.
RUU Perampasan Aset diketahui sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas jangka menengah sejak 2015.
Namun, RUU itu tak kunjung masuk dalam Prolegnas tahunan sehingga tak kunjung dibahas.
Bahkan, saat pembahasan Prolegnas jangka menengah, 2020-2024, RUU itu pun kembali dimasukkan di dalamnya. Hanya saja hingga kini belum masuk dalam Prolegnas Prioritas tahunan.
Padahal, RUU penting guna mengatasi keterbatasan regulasi dalam menyelamatkan aset hasil tindak pidana.
https://nasional.kompas.com/read/2021/04/29/12490781/kepala-ppatk-perampasan-aset-tindak-pidana-di-indonesia-belum-optimal-ruu