JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Pusat Muhammadiyah menolak wacana penambahan wewenang TNI dalam penanggulangan terorisme.
"Jangan tarik-tarikan TNI ke ranah penegakan hukum. Karena TNI bukan aparat penegak hukum," kata Ketua PP Muhammadiyah Buysro Muqoddas di Kantor PP Muhammadiyah, Senin (25/7/2016).
Wacana keterlibatan TNI dalam pemberantasan teroris muncul seiring rencana revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selain itu, keberhasilan TNI yang terlibat dalam Operasi Satgas Tinombala yang menewaskan pimpinan Mujahidin Indonesia Timur, Santoso, dinilai TNI layak terlibat dalam pemberantasan teroris.
Namun, menurut Busyro, pemberantasan terorisme terkait pada upaya penegakan hukum. Dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, secara tegas telah menyatakan jika Indonesia merupakan negara hukum.
Untuk itu di dalam upaya penanggulangan teroris harus mengedepankan norma-norma hukum yang berlaku.
Buysro khawatir, jika TNI diberi wewenang tambahan dalam penanggulangan teroris, justru akan memunculkan persoalan pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga, masyarakatlah yang nantinya justru akan dirugikan.
"Seharusnya dibaca secara utuh pasal NKRI harga mati itu seperti apa. Dengan ayat (2) dan ayat (3). Jangan keliru memahami NKRI harga mati," kata dia.
Lebih jauh, Busyro meminta, agar pembahasan revisi UU Antiterorisme tidak dilakukan secara terburu-buru. Hal itu untuk menghindari terjadinya kesalahan di dalam proses revisi itu sendiri.
Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi itu menyarankan agar DPR dan pemerintah melibatkan elemen masyarakat di dalam mengkaji naskah akademik serta draf revisi UU tersebut.