JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kini tengah digodok DPR, memiliki dimensi penanganan yang luas, tidak hanya terbatas pemberantasan tapi juga pencegahan.
Karena itu munculnya wacana untuk menambah wewenang TNI di dalam revisi UU Antiterorisme dikhawatirkan akan memberikan masalah baru terkait keamanan dalam negeri.
Kekhawatiran itu muncul, sebab wacana pelibatan TNI mencuat tanpa diikuti pengaturan tugas yang jelas.
"(Penambahan wewenang) seakan memberikan cek kosong kepada aparat TNI untuk terlibat lebih jauh dan bersifat meluas dalam urusan keamanan dalam negeri," kata Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf usai bertemu pimpinan PP Muhammadiyah di Kantor PP Muhammadiyah, Senin (25/7/2016).
"Hal ini bisa dilihat dari tidak rigid-(tegas)-nya klausul pelibatan TNI," kata dia.
Al Araf mengatakan, dimensi pemberantasan teroris sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (3) UU Antiterorisme, meliputi aspek pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, hingga penyiapan kesiapsiagaan nasional.
Jika wewenang TNI ditambah di dalam UU tersebut, dikhawatirkan akan terjadi penafsiran yang lebih luas oleh TNI dalam proses penanggulangan tersebut.
"Bisa jadi ditafsirkan lebih luas untuk terlibat dalam semua aspek atau dimensi dalam penanggulangan terorisme yang dibungkus dengan dalih perbantuan kepada Polri," ujarnya.
Lebih jauh, Al Araf mengatakan, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah mengatur secara tegas peran TNI dalam upaya pemberantasan teroris.
TNI dapat menjalankan operasi militer selain perang di mana salah satu poin yang diatur terkait upaya penanggulangan terorisme.
Untuk itu, Al menilai bahwa wewenang TNI tak perlu lagi ditambah. Keberhasilan TNI di dalam membunuh Santoso, pimpinan Mujahidin Indonesia Timur, dalam operasi gabungan TNI-Polri di Satgas Tinombala, menjadi buktinya.
"Nah, berlangsungnya operasi ini menunjukkan jika pengaturan pelibatan TNI tidak lagi diperlukan di dalam revisi UU ini," kata dia.