DEBAT capres-cawapres 2024 putaran dua, saya konotasikan sebagai drama “gaslighting” dan “disconfirmation”, yang dipertontonkan oleh cawapres tertentu.
Gaslighting dari akar kata “gaslight” pernah menjadi judul film karya sutradara Inggris Thorold Dickinson, yang dirilis pada 1940.
Narasinya, perilaku melecehkan, atau merendahkan orang lain. Arti lain, ekspresi pelaku yang seolah-olah elegan agar orang lain melihatnya sebagai sosok yang tampak berkuasa dan mampu mengontrol orang lain.
Gaslighting sebagai istilah dalam disipilin psikologi, memiliki kesamaan dalam banyak hal dengan komunikasi verbal antarmanusia dalam bentuk diskonfirmasi (DeVito, 2011).
Terdapat sejumlah karakter umum “gaslighting” dan “disconfirmation”: pelaku mengabaikan atau meremehkan orang lain, menyalahkan dan mengabaikan apa yang dikatakan orang lain (tidak empati), mengalihkan persoalan atau meloncat ke interpretasi lain, bukan memahami pembicaraan atau pertanyaan orang lain.
Karakter lainnya, pelaku mengutamakan pandangan sendiri, sebaliknya pandangan dan sikap orang lain selalu salah, mengabaikan harapan atau tidak menjawab pertanyaan orang lain, menanggapi pernyataan atau pertanyaan orang lain senyampang atau sepintas lalu saja, selanjutnya mengalihkan ke pembicaraan lain.
Bagaimana kondisi demikian dikaitkan dengan debat cawapres?
Membahas topik ekonomi beserta isu-isu terkait dengannya seperti investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN-APBD, infrastruktur, cawapres Muhaimin Iskandar (nomor urut satu), Gibran Rakabuming Raka (nomor urut dua), dan Mahfud MD (nomor urut tiga), mengawali debat dengan elegan dalam menyampaikan gagasan ekonomi masing-masing.
Suasana itu berubah total pada babak menjawab pertanyaan panelis, respons lawan debat, dan babak debater saling menanyakan dan merespons.
Perilaku cawapres tertentu mulai lepas kontrol meskipun pendukung dan sebagian pemirsa melihat sebagai tingkah yang hebat dan “powerfull”.
Saya menggambarkan perilaku yang tercipta saat itu, terdapat cawapres yang berperilaku kearah “gaslighting”dan “discommunication”. Untuk membayangkan situasi tersebut, saya memutar film “Gaslight”.
Pemahaman saya tentang ruang debat cawapres dengan situasi itu, orang lain bisa saja menilai pandangan saya ini sangat subjektif.
Itu benar adanya karena fokus perhatian saya pada sesi debat tersebut pada perilaku atau ekspresi cawapres tertentu yang paling menonjol dan terkesan terjadinya perilaku deviasi.
Kesan ini menyeruak usai saya mendengar beberapa kalimat berikut,“Bapak-bapak ini tidak paham apa yang saya bicarakan”, “Prof, pulang dari debat, bisa di-google sudah banyak yang masuk menjadi investor”, “Anda dulu mendukung IKN, sekarang tidak mendukung, Anda tidak konsisten”, “Maaf ya pertanyaan saya sulit”.
***