DUGAAN skandal pemerasan oleh Ketua KPK non-aktif Firli Bahuri bergulir cukup menegangkan. Aroma pertarungan bintang di antara para petinggi Polri menggelinding di tengah pengusutan kasus dugaan pemerasan itu.
Firli merasa dirinya adalah “target operasi” perlawanan balik para koruptor. Tidak sampai di situ, Firli juga menuduh “dijebak” oleh Kapolda Metro Jaya.
Asumsi dan prasangka ini semakin mempertegang suasana persidangan praperadilan Firli di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tidak tanggung-tanggung, Firli menuduh Irjen Karyoto, Kapolda Metro Jaya, berada di balik “skenario” penetapan dirinya sebagai tersangka.
Tuduhan itu cukup serius karena mengisyaratkan suasana ketegangan antara para bintang di Polri. Namun secara hukum untuk membuktikan penetapan dirinya sebagai tersangka cacat prosedur, tentu tidak berpengaruh dengan asumsi tersebut.
Pasalnya, penetapan tersangka tidak berdasarkan asumsi, melainkan prosedur penegakan hukum acara.
Harusnya persoalan seperti ini tidak harus muncul sebagai argumentasi hukum untuk mendalilkan tentang prosedur penetapan tersangka yang salah (tidak sah).
Selain membawa pertentangan, tuduhan tersebut masih bersifat asumsi dan prasangka dan tidak memberikan pengaruh hukum apapun dalam proses praperadilan.
Persoalan praperadilan adalah persoalan syarat formil mengenai penetapan tersangka, tidak di luar itu. Apakah penetapan tersangka memenuhi syarat formil hukum acara atau tidak.
Sayangnya Firli dan pengacaranya mendalilkan sesuatu yang tidak memberikan keyakinan kepada hakim praperadilan mengenai prosedur penetapan dirinya tersangka.
Upaya Firli mempersoalkan penetapan dirinya sebagai tersangka akhirnya berujung sia-sia. Meski Firli telah berjuang “habis-habisan” dengan menghadirkan begawan hukum seperti Prof Yusril Ihza Mahendra, Prof Romli Atmasasmita, Natalius Pigai, dan beberapa guru besar lainnya, tapi tidak mampu membuktikan kesalahan penyidik Polda Metro Jaya menyelidiki kasus dugaan pemerasan tersebut.
Firli kalah di Praperadilan dan dengan sendirinya proses penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan Polda Metro Jaya sesuai dengan prosedur yang diatur dalam hukum acara.
Dengan demikian, tuduhan mengenai pertarungan bintang di tubuh Polri dan tuduhan mengenai intervensi Irjen Karyoto menjadi asumsi belaka, tidak dapat dibuktikan.
Setelah Putusan Praperadilan dibacakan dan Permohonan Praperadilan ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maka status tersangka Firli Bahuri sah dan justru semakin menguatkan dugaan pemerasan dalam proses penanganan korupsi di Kementerian Pertanian oleh Ketua KPK non-aktif Firli.
Kekalahan Firli Bahuri di Praperadilan PN Jaksel akan menjadi bagian penting untuk membuktikan pelanggaran etik Firli yang akan disidangkan oleh Dewan Pengawas KPK.
Persidangan Dewas yang ditunda karena permintaan Firli dengan alasan menunggu putusan PN Jaksel adalah bagian dari pelanggaran etik, karena tidak menghargai prosedur di internal KPK mengenai penyelesaian pelanggaran etik.