“Kenakalan” Firli ini membuat Dewas semakin terbebani, karena harus menjadwal ulang pemanggilan saksi-saksi dan semua agenda persidangan yang sudah ditentukan.
Tentu ini memperlihatkan bagaimana Firli Bahuri tidak menghargai peradilan etik. Dewas seperti lembaga pengawas yang menuruti kemauan para pelanggar etik.
Kelemahan posisi Dewas KPK inilah yang dimanfaatkan oleh pelanggar kode etik di KPK untuk mempermainkan Dewas semau mereka.
Kedepan Dewas KPK harus diberi kewenangan yang lebih kuat untuk mengawasi perilaku insan KPK. Hukuman yang bisa diberikan bukan hanya meminta mengundurkan diri, tapi Dewas bisa memberhentikan langsung Insan KPK yang terbukti melanggar etik berat.
Terlepas dari posisi Dewas yang sangat “lemah” dihadapkan Pimpinan KPK, Dewas harus menggunakan kekuasaannya secara maksimal dan progresif untuk membuktikan pelanggaran etik insan KPK yang nakal.
Sementara itu, dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri sebetulnya sangat sederhana. Dewas dapat menggali dari bukti-bukti yang sudah tersedia dan mengagendakan sidang maraton supaya ada kepastian hukum dan keadilan bagi semua.
Etik adalah masalah yang paling fundamental dalam diri para pejabat. Kalau pejabat sudah tidak beretika, maka perilakunya akan menyalahi norma kepantasan, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan tentunya tidak memiliki integritas, kejujuran, dan tidak memiliki sifat adil.
Pada akhirnya, KPK menjadi semakin kehilangan wibawanya secara kelembagaan. Luruhnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga KPK juga dapat dinilai secara etik.
Dikaitkan dengan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli Bahuri, KPK benar-benar mengalami kemerosotan dan dikiritik secara meluas. Ini harus menjadi dasar Dewas untuk lebih progresif menyelesaikan kasus ini.
Firli diduga melakukan sejumlah pelanggaran, yakni mengadakan pertemuan dengan Syahrul Yasin Limpo, tidak mengisi LHKPN secara jujur, menyewa rumah di Kartanegara, Jakarta. Pelanggaran-pelanggaran ini harus dihadapi oleh Firli dalam sidang etik nanti.
Bukti-bukti itu cukup terpampang dengan jelas, tinggal membuktikan ada atau tidaknya pelanggaran etik terjadi dalam dugaan tersebut.
Lalu bagaimana dengan dugaan-dugaan pelanggaran itu?
Setelah Praperadilan Firli tidak dapat diterima oleh PN, maka bukti pertemuan Firli dengan SYL menjadi bukti kuat adanya pelanggaran etik dalam pertemuan tersebut.
Sebab salah satu bukti petunjuk yang digunakan oleh Penyidik Polda adalah pertemuan keduanya.
Tidak bisa dielakkan bahwa pertemuan antara pimpinan KPK dengan seseorang yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan perkara yang ditangani KPK adalah pelanggaran etik berat.