JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Herwyn JH Malonda menyebut, polarisasi atau keterbelahan di masyarakat berpotensi terjadi selama penyelenggaraan Pemilu 2024.
Sedikitnya, kata dia, ada tiga faktor yang menyebabkan polarisasi selama pemilu, yakni, media sosial (medsos), keberpihakan aparatur sipil negara (ASN), dan politik identitas.
Herwyn mengatakan, polarisasi di media sosial lahir dari unggahan atau komentar yang bersifat provokatif, sehingga membagi masyarakat menjadi kelompok-kelompok politik yang berbeda.
“Ini tempatnya penyebaran informasi yang paling masif. Informasi yang tidak tervalidasi bisa saja membuat persoalan hubungan persaudaraan kita bermasalah,” kata Herwyn dalam acara Global Network on Electoral Justice (GNEJ) Scientific Committee Meeting di Bandung, Jawa Barat, Selasa (5/12/2023), dikutip dari laman resmi Bawaslu RI.
Selanjutnya, kata Herwyn, keberpihakan ASN dalam pemilu juga dapat melahirkan polarisasi di masyarakat.
Semestinya, sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, setiap ASN wajib netral dan bebas dari intervensi politik.
Baca juga: Siang Ini, KPU Rapat Bareng Timses untuk Tetapkan Format Debat Pilpres
Menurut Herwyn, ASN yang tidak netral dapat menyebabkan polarisasi karena sikap yang berbeda antra satu dengan lainnya dalam sebuah instansi. ASN yang berpihak juga berpotensi menyalahgunakan sumber daya publik.
“Kurangnya pelayanan publik yang merata, risiko manipulasi dalam pemilihan umum, pengurangan kepercayaan publik, dan meningkatnya politisasi birokrasi,” ujarnya.
Sementara, politik identitas dapat menyebabkan polarisasi karena pembedaan perilaku terhadap suatu kelompok berdasarkan etnis, ras, suku, atau agama.
Untuk mengatasi potensi kerawanan tersebut, Herwyn mengaku, pihaknya akan melakukan pengawasan di lingkungan yang menunjukkan gejala polarisasi.
Caranya dengan melakukan pengawasan terhadap media sosial, memberikan pendidikan politik ke pemilih, pelatihan penguatan kompetensi penyelenggara pemilu, dan kerja sama dengan pemangku kepentingan terkait seperti TNI, Polri, hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Dalam acara yang sama, anggota Bawaslu Lolly Suhenty menyebut, masyarakat yang terpolarisasi bisa mengganggu jalannya pelaksanaan pemilu yang demokratis. Oleh karenanya, upaya pencegahan terus dilakukan.
"Apabila saling provokasi dan intimidasi tidak dikelola dengan baik, maka dinamika konflik akan berkembang dengan cepat dan menjadi sangat kekerasan (brutal). Berakhir dengan bentrokan antar kelompok atau kerusuhan massal yang berkepanjangan," katanya.
Adapun tahapan Pemilu 2024 saat ini memasuki masa kampanye. Rencananya, kampanye berlangsung selama 75 hari, terhitung sejak 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.
Setelah masa kampanye, tahapan pemilu akan memasuki masa tenang selama tiga hari yakni 11-13 Februari 2024. Selanjutnya, pada 14 Februari 2024 akan digelar pemungutan suara serentak di seluruh Indonesia.
Baca juga: Format Debat Cawapres Diubah, Bawaslu Ingatkan KPU Patuhi UU