CARA mengenali bagaimana suatu bangsa mampu memberikan kedaulatan penuh pada warga negaranya bisa diselidiki melalui bentuk jaminan terhadap kemerdekaan berpikir.
Selaras dengan itu, kemajuan suatu bangsa juga bisa dilihat dari cara berpikir warga negara di dalamnya.
Bangsa ini sedang mendapati sejumlah persoalan dalam menghadapi problem kemerdekaan berpikir, bisa jadi datangnya dari warga negara, bahkan dalam penyelenggaraan negara itu sendiri.
Konstitusi telah menjamin melalui Pasal 28E ayat (2) menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Suatu narasi yang menunjukkan sifat sangat terbuka, menampilkan beragam pesan mendalam, dan bergerak dalam lintasan pikiran yang mengusung partisipasi kebersamaan.
Meski kemerdekaan berpikir telah diamanatkan dan dilindungi konstitusi, ada sebagian warga masih memiliki kecenderungan tafsir bebas atas kepentingan diri sendiri atau kelompok.
Pada akhirnya larut dalam hiruk-pikuk adu pembenaran tentang kata-kata hinaan, menampung isu politik murahan, dan meneruskan pesan perpecahan.
Hal itu telah tercerminkan dari salah satu variabel yang diukur oleh Indeks Demokrasi Indonesia berdasar data Economist Intelligence Unit (EIU) pada Februari 2023, yakni kebebasan sipil (civil liberties) yang cenderung belum memuaskan dari tahun ke tahun.
Meski skor kebebasan sipil Indonesia naik dari 5,59 menjadi 6,18, di sisi lain kebebasan sipil perlu mendapatkan perhatian lebih, antara lain mendidik perbaikan sikap dalam menangani perbedaan pendapat di masyarakat, pemberian jaminan hak kebebasan berekspresi kepada masyarakat, dan pelibatan elemen masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan.
Pada akhirnya, kemerdekaan berpikir merupakan representasi kematangan negara dalam mengelola penghormatan atas hak-hak dasar kemanusiaan.
Di dalamnya telah diatur kesepakatan-kesepakatan yang mengikat meskipun disadari untuk memadukan kepastian kemanusiaan dan keadilan, merupakan perbuatan yang amat sulit.
Warisan kemerdekaan berpikir sebenarnya telah termanifestasi dalam imaji tahapan konseptualisi Pancasila yang mampu melintasi rangkaian berpikir yang panjang, penuh ikatan emosional, dan luluh dalam ikatan kebangsaan.
Dalam perjalanannya, konseptualisasi tersebut dimulai dari tahap pembibitan, tahap perumusan, dan tahap pengesahan.
Tahap pembibitan setidaknya dimulai pada 1900 hingga 1920-an dalam bentuk rintisan gagasan-gagasan untuk mencari perbandingan antarideologi dan gerakan kolektif yang sejalan dengan proses konsensus Indonesia sebagai imajinasi kebangsaan.
Tahapan perumusan dimulai pada masa persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), 29 Mei-1 Juni 1945, dengan Pidato Soekarno pada 1 Juni, sebagai cikal bakal istilah Pancasila.