Terakhir, melalui tahapan pengesahan dimulai pada 18 Agustus 1945, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang melahirkan rumusan final, yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara.
Jelas terlihat, tahapan-tahapan tersebut merupakan titik kulminasi pikiran-pikiran yang luar biasa.
Artinya, melalui kemerdekaan berpikir telah mampu melahirkan imajinasi berbangsa yang turut menghantarkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sebagai refleksi, dasar imajinasi yang dibangun kuat oleh para pendiri bangsa tengah mengalami tantangan yang cukup berat. Ini ditunjukan oleh survei Litbang Kompas pada 22-23 Mei 2023, terkait dengan ancaman-ancaman terhadap Pancasila.
Sebanyak 32,9 persen masyarakat menilai bahwa ancaman itu datang dari pengaruh budaya luar, 23,6 persen disebabkan oleh berkurangnya nilai-nilai pendidikan Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi, dan 17,4 persen dipengaruhi berkembangnya paham-paham yang menyimpang.
Artinya, tanggung jawab kita dalam memperkuat strategi pembinaan nilai-nilai Pancasila mengalami stagnasi.
Dari mana datangnya, apakah dari “mutasi berpikir” tentang kebangsaan yang menyimpang hingga memberikan celah cukup besar atas longgarnya ikatan-ikatan kita sebagai negara bangsa.
Ini semua bermula dari mandeknya keberanian berpikir merdeka dan diperkuat narasi politis ecek-ecek yang tidak bertanggung jawab yang menjauhkan tujuannya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan yang inklusif dan berorientasi jangka panjang dengan tujuan mengembalikan ekosistem berpikir merdeka bagi warga negara.
Dalam ungkapan Clifford Geertz (1963), Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru.
Nama Indonesia sebagai proyek ‘nasionalisme politik’ (political nationalism) memang baru diperkenalkan sekitar 1900-an.
Akan tetapi, ia tidaklah muncul dari ruang hampa, melainkan telah ribuan, bahkan jutaan tahun lamanya berakar pada Tanah Air beserta elemen-elemen sosial-budaya yang ada di Nusantara.
Pernyataan tersebut turut didukung oleh Hugo Grotius (1625), melalui bukunya The Law of War and Peace, bahwa untuk mempertahankan negara-bangsa dibutuhkan legitimasi yang berkelanjutan dari ide-ide kemerdekaan berpikir dari warga negara.
Ini berarti bahwa baik gagasan kolektif maupun individu harus bisa berubah dan beradaptasi dengan keadaan baru, seperti perkembangan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi ekonomi, ide-ide baru, dan perubahan kewilayahan.
Ancaman terbesar yang akan menguji kemerdekaan berpikir kita adalah tebalnya dinding-dinding eksklusivisme atas nama identitas (identity labeling).