Oleh: Widia Eka Putri*
PROYEK food estate di Indonesia menjadi topik perdebatan yang hangat di kalangan masyarakat dan para ahli selama beberapa tahun terakhir.
Terlepas dari banyaknya penelitian, peringatan, bahkan tanda-tanda nyata mengenai efek negatif proyek-proyek food estate yang dikemukakan, program tersebut masih terus bergulir dan bertambah jumlahnya.
Pemerintah tetap mempertahankan kebijakan pembukaan lahan untuk penyediaan pangan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Namun, hampir selalu, lahan yang digunakan adalah lahan gambut atau hutan konservasi yang seharusnya dibiarkan tetap lestari.
Hampir selalu pula, tanaman yang ditanam tidak sesuai dengan lahan gambut sehingga patut dipertanyakan kemampuan tumbuh dan produktifitasnya.
Proyek food estate teranyar diresmikan Presiden Jokowi pada pertengahan Maret 2023 lalu. Berlokasi di Kabupaten Keerom Provinsi Papua, proyek tersebut diharapkan menjadi lumbung pangan penghasil jagung untuk menjawab kebutuhan dalam negeri yang tinggi.
Dalam sambutannya, Presiden Jokowi menyatakan bahwa lahan ini feasible untuk dijadikan lahan budidaya jagung karena memiliki kontur yang rata dan datar.
Namun tentu saja, kontur tanah saja tidak cukup menjadi alasan kelayakan suatu usaha tani. Harus ada studi kesesuaian lahan yang holistik untuk memastikan bahwa proyek itu memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan efek ekologi yang minim.
Lebih jauh lagi, perlu studi mengenai ketersediaan air irigasi, pemeliharaan, pengelolaan panen dan pascapanen, kepastian pasar atau offtaker dengan harga yang layak.
Tentu saja kekhawatiran di atas sudah dipertimbangkan dan direncanakan antisipasinya oleh pemerintah. Hal itu bahkan merupakan bagian dari sambutan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi.
Namun, berkaca pada proyek food estate yang sudah dijalankan sebelumnya, wajar jika banyak pihak skeptis dan pesimistis terhadap implementasinya.
Food estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, adalah contoh konkret proyek gagal. Pada Maret 2021, Presiden Jokowi meresmikan lahan seluas 1 juta hektar untuk dijadikan perkebunan singkong.
Dari jumlah tersebut, 600 hektar tidak kunjung dikelola dan 17.000 hektar lainnya tidak kunjung dipanen karena kualitas hasilnya yang buruk.
Banyak alasan dan dalih yang dikemukaan, mulai dari ketiadaan regulasi untuk membentuk Badan Cadangan Logistik Strategis sampai nihilnya alokasi dana APBN untuk mengelola kebun singkong tersebut.