JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendorong jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Jawa Barat melakukan upaya hukum banding terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung atas kasus HW terdakawa kasus pemerkosaan 13 santriwati di Bandung.
Pengajuan banding tersebut terkait dengan pembayaran restitusi terdakwa kepada korban yang dibebankan kepada KemenPPPA.
KemenPPPA menilai putusan Hakim terkait restitusi terhadap anak korban persetubuhan tidak dapat dibebankan kepada KemenPPPA.
"Dalam putusannya Hakim menyatakan Negara harus hadir untuk melindungi dan memenuhi hak korban dengan cara memberikan restitusi. Hanya saja restitusi itu kewajiban pelaku dan pihak ketiga sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait Perlindungan saksi dan korban. Memperhatikan ketentuan tersebut, KemenPPPA tidak dapat dibebankan untuk membayar restitusi,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu (16/02/2022).
Nahar mengatakan, hakim membebaskan terdakwa dari hukuman bayar restitusi ganti kerugian dengan pertimbangan terdakwa telah dihukum seumur hidup.
Keputusan tersebut merujuk pada Pasal 67 KUHP yang menyebutkan jika terdakwa telah divonis seumur hidup di samping tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi, kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim.
Nahar mengatakan, penunjukan KemenPPPA sebagai pihak yang menanggung restitusi perlu dipertimbangkan kembali dengan alasan pemerintah bukan keluarga atau relasi kuasa terdakwa.
Ia menjelaskan, mengacu pada UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan PP 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban sebagaimana telah dirubah melalui PP 35 Tahun 2020, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
"Maka restitusi tidak dibebankan kepada negara," kata Nahar.
Baca juga: Tanggapi Vonis Herry Wirawan, KPAI: Nilai Restitusi untuk Korban Terlalu Kecil
Selain terkait dengan restitusi, Nahar mengatakan memori banding JPU juga diusulkan memasukkan hukuman maksimal pidana mati, hukuman tambahan, tindakan kebiri kimia, dan rehabilitasi terhadap pelaku perseteubuhan terhadap anak.
Hal tersebut tertuang di dalam UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Mempertimbangkan asas hukum lex posterior derogat legi priori, artinya asas hukum yang terbaru (lex posterior) kesampingkan hukum yang lama (lex prior) selanjutnya juga dapat mempertimbangkan ketentuan terbaru UU 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," kata Nahar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.