Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PKS Janji Perjuangkan RUU Perlindungan PRT yang Sudah 18 Tahun Mandek di DPR

Kompas.com - 16/01/2022, 16:43 WIB
Vitorio Mantalean,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Fraksi PKS DPR RI berjanji memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pembantu Rumah Tangga (RUU PPRT) agar bisa dibahas dan digolkan oleh parlemen.

Sebagai informasi, menurut Jaringan Nasional Advokasi (Jala) PRT, RUU PPRT sudah melalui 76 kali proses revisi draf sejak pertama kali diusulkan ke Senayan pada 2004 alias 18 tahun lalu.

"Mudah-mudahan semua pihak terkait terketuk untuk bisa menyelesaikan RUU ini," ujar Ketua Fraksi PKS DPR RI, Jazuli Juwaini, dalam diskusi daring yang digelar pada Minggu (16/1/2022).

"Secara konten sebetulnya sudah banyak yang kita bahas dan dalami, tinggal bagaimana political will untuk bagaimana mewujudkan keadilan, terlindunginya saudara-saudara kita yang mengambil segmentasi bekerja di rumah tangga ini," ungkapnya.

Jazuli mengatakan, selama ini PKS kerap memberikan interupsi saat sidang, agar seluruh pimpinan dan anggota dewan memberikan perhatian untuk merampungkan RUU PPRT.

"Para pekerja rumah tangga ini termasuk yang paling banyak dieksploitasi menurut pengamatan kami, bahkan tidak sedikit juga yang menjadi korban human trafficking. Kemudian kesejahteraannya belum pernah menjadi perhatian serius berbagai macam pihak," ujar Jazuli.

Baca juga: Jala PRT Sebut Perlindungan Negara Terhadap Pembantu Rumah Tangga Masih Kurang

"Kami menganggap, seluruh pekerja rumah tangga yang menurut data ILO (International Labor Organization) tahun 2015 itu totalnya di Indonesia tidak kurang dari 4,2 juta, adalah orang yang sangat berjasa besar, orang-orang mulia," ungkapnya.

Akibat RUU PPRT tak kunjung disahkan oleh DPR, perbudakan dan eksploitasi terhadap para PRT di Indonesia semakin marak dan leluasa dilakukan oleh para pemberi kerja.

"Data terakhir yang kami kumpulkan pada Desember 2021, rata-rata terjadi 400-an kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dari berbagai aspek, psikis, fisik, ekoomi, seksual, dan sosial atau trafficking," ucap Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini, dalam kesempatan yang sama.

"Kasus-kasus seperti ini tidak diketahui oleh publik karena mereka bekerja dalam rumah, aksesnya terbatas, tidak tahu bagaimana harus menyampaikan. Di Medan, itu sampai ada 112 PRT yang disekap oleh agen dan beberapa itu sampai meninggal," lanjut Lita.

RUU PRT mandek di DPR

Sebetulnya, Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan PRT sudah digodok sejak 2004, namun belum ada hasilnya sampai sekarang.

Dalam 18 tahun itu, RUU PPRT sempat dibahas pada 2010 dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) hingga 2014.

Baca juga: Cerita Pahit Sawinah, Belasan Tahun Jadi PRT, Diberhentikan Tanpa Pesangon hingga Dipaksa Kerja Saat Sakit

Pada 2012, duit negara bahkan telah terpakai oleh anggota Dewan yang melakukan studi banding ke Argentina dan Afrika Selatan, serta melakukan uji coba di Malang, Makassar, dan Medan.

Setelahnya, Panitia Kerja Komisi IX menyampaikan draf RUU PPRT ke Badan Legislatif (Baleg) DPR pada 2013, namun pembahasannya berhenti di sana.

Pada 2020, sejumlah fraksi di Senayan kembali memperjuangkan RUU PPRT dan menghasilkan draf terbaru yang siap diagendakan masuk dalam Rapat Paripurna untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR.

Tapi, hingga sekarang, setelah melalui 76 kali revisi draf RUU PPRT ini tak kunjung masuk dalam agenda Rapat Paripurna.

"Ada 2 fraksi dari parpol besar, yaitu PDI-P dan Golkar, yang masih menolak akan pentingnya RUU PRT ini sehingga sampai sekarang belum diagendakan dalam Rapat Paripurna," ujar Lita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com