JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi (Jala) PRT Lita Anggraini mengatakan, meski jumlah pekerja rumah tangga (PRT) Indonesia cukup besar, namun perlindungan hukum kepada mereka masih kurang.
Pada 2015 lalu, jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang berdasarkan survei Jala PRT dan Universitas Indonesia. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar kedua setelah China dalam kepemilikan PRT.
"Kita melebihi India yang 3,6 juta pada 2015 dan juga melebihi Filipina dengan 2,6 juta PRT pada tahun yang sama. Tahun 2022 ini, kemungkinan sudah 5 juta (PRT di Indonesia)," kata Lita dalam diskusi daring yang digelar Fraksi PKS DPR RI, Minggu (16/1/2022).
"Jumlah 5 juta PRT ini menandakan bahwa kehadiran PRT sangat dibutuhkan," lanjutnya.
Ia pun mengungkap sederet persoalan yang dialami PRT di Indonesia yang tak pernah terungkap ke publik.
Misalnya, jam kerja panjang tanpa libur dan jaminan sosial, beban kerja tak terbatas, serta rentan atas berbagai eksploitasi dan kekerasan.
Tindakan tersebut, sambung Lita, bahkan dilakukan oleh para pemberi kerja dengan status ekonomi menengah ke atas, seperti para ekspatriat di Jakarta hingga majikan di kawasan Pondok Indah.
Mereka dibayar sangat murah atau bahkan tidak digaji walau telah diberi iming-iming pada permulaan kerja. Sebagian lain ditipu oleh agen penyalur PRT.
Ketika sakit, mereka tak bisa mengakses fasilitas kesehatan karena kekurangan uang dan tak terdaftar sebagai peserta BPJS penerima bantuan iuran (PBI).
Eksploitasi semacam ini semakin leluasa dilakukan oleh para pemberi kerja karena kekosongan hukum yang semestinya dapat melindungi para PRT.
Padahal, PRT dengan jumlah sebesar Indonesia berperan sangat penting dalam roda ekonomi, karena keberadaan mereka lah kebanyakan orang bisa leluasa bekerja meninggalkan rumah dan urusan domestik.
"Data terakhir yang kami kumpulkan pada Desember 2021, rata-rata terjadi 400-an kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dari berbagai aspek, psikis, fisik, ekoomi, seksual, dan sosial atau trafficking," ucapnya.
"Kasus-kasus seperti ini tidak diketahui oleh publik karena mereka bekerja dalam rumah, aksesnya terbatas, tidak tahu bagaimana harus menyampaikan. Di Medan, itu sampai ada 112 PRT yang disekap oleh agen dan beberapa itu sampai meninggal," lanjut Lita.
RUU PRT mandek di DPR
Sebetulnya, Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan PRT sudah digodok sejak 2004, namun belum ada hasilnya sampai sekarang.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.