JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah penolakan dilibatkannya TNI dalam upaya penanggulangan terorisme karena alasan hak asasi manusia (HAM) bisa jadi disebabkan oleh stigma negatif militer di masa lalu.
Kendati demikian, menurut Cendekiawan Muslim Komaruddin Hidayat, hal tersebut bisa ditepis mengingat saat ini aksi terorisme sudah memakan banyak korban sehingga membuat ketentraman hidup masyarakat terusik.
Baca juga: SBY: Serangan Teroris Nyata, Saya Tak Latah Berkata Ini Pengalihan Isu
Sehingga, cara pandang perlindungan HAM saat ini dalam upaya penanggulangan terorisme adalah dengan mengutamakan hak ketentraman hidup masyarakat.
“Jadi siapa yang paling utama? Kan masyarakat. Kalau hak tentram itu tidak dilindungi, ya itu melanggar HAM. Artinya kekuatan apapun yang merusak ketentraman ya boleh ditindak,” kata Komaruddin di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah itu juga mengatakan, tugas dari negara adalah melindungi masyarakat bukan melindungi kepentingan pribadi.
Baca juga: Mendagri Sebar Surat Edaran ke Daerah untuk Antisipasi Serangan Teroris
“(Jika) Pribadi ini ternyata diindikasi kuat menggangu ketentraman masyarakat ya pribadi ini harus diamputasi,” lanjut Komaruddin.
Sebelumnya, pengajar hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Miko Ginting menyatakan, pendekatan keamanan saja tidak boleh dan tidak cukup sebagai pertimbangan dalam revisi UU Antiterorisme.
Menurut Miko, dalam RUU Antiterorisme perlu juga pendekatan hak asasi manusia (HAM).
"Perlu dilengkapi dengan pendekatan akuntabilitas dan HAM. Dengan demikian, penanggulangan terorisme dapat dilakukan secara tepat dan efektif," kata Miko dalam pernyataannya, Senin (21/5/2018).
Baca juga: Komnas HAM: Pelibatan Koopsusgab TNI Berantas Terorisme Berpotensi Keblabasan
Miko mengatakan, pendapat untuk mengesampingkan HAM dalam RUU Antiterorisme sama sekali tidak tepat. Justru, legitimasi penindakan terorisme adalah pemenuhan HAM kepada warga negara, yaitu hak atas rasa aman.
Di samping itu, penyebab tunggal dalam terorisme harus disingkirkan, termasuk apabila penyebabnya adalah regulasi.
Saat ini, Indonesia telah memiliki perangkat hukum antiterorisme berupa KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
"Bukan berarti revisi UU Antiterorisme tidak perlu dilakukan sepanjang dilaksanakan secara cermat dan mempertimbangkan semua situasi secara objektif," ucap Miko.