JAKARTA, KOMPAS.com - Pengajar hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Miko Ginting menyatakan, pendekatan keamanan saja tidak boleh dan tidak cukup sebagai pertimbangan dalam revisi UU Antiterorisme.
Menurut Miko, dalam RUU Antiterorisme perlu juga pendekatan hak asasi manusia.
"Perlu dilengkapi dengan pendekatan akuntabilitas dan HAM. Dengan demikian, penanggulangan terorisme dapat dilakukan secara tepat dan efektif," kata Miko dalam pernyataannya, Senin (21/5/2018).
Miko mengatakan, pendapat untuk mengesampingkan HAM dalam RUU Antiterorisme sama sekali tidak tepat. Justru, legitimasi penindakan terorisme adalah pemenuhan HAM kepada warga negara, yaitu hak atas rasa aman.
Di samping itu, penyebab tunggal dalam terorisme harus disingkirkan, termasuk apabila penyebabnya adalah regulasi.
Baca juga: RUU Antiterorisme: dari Pasal Guantanamo sampai Tantangan HAM
Saat ini, Indonesia telah memiliki perangkat hukum antiterorisme berupa KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU Pemberantasan Pendanaan Terorisme.
"Bukan berarti revisi UU Antiterorisme tidak perlu dilakukan sepanjang dilaksanakan secara cermat dan mempertimbangkan semua situasi secara objektif," ucap Miko.
Sebagaimana diketahui, rangkajan serangan terorisme kembali menaikkan wacana revisi terhadap UU Antiterorisme. Sebelumnya, revisi UU tersebut mengalir setelah insiden bom di Jalan MH Thamrin pada Januari 2016.
Pembahasan itu kemudian tersendat. Penyebabnya adalah beberapa klausul yang belum disepakati oleh pemerintah dan DPR.