JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, menilai, perbedaan koalisi partai politik di tingkat nasional dan daerah terkait pencalonan kepala daerah pada Pilkada 2018 bukan hal baru.
Menurut dia, fenomena itu wajar terjadi di Indonesia pada setiap penyelenggaraan pilkada dan merupakan bentuk pragmatisme politik.
"Betul, wajah dari potret pragmatisme politik dalam kehidupan politik bangsa kita. Kebetulan sekarang momennya pilkada," kata Haris saat dihubungi, Senin (8/1/2018).
Baca juga: Akankah Kemesraan PDI-P dan Demokrat di Pilkada 2018 Berlanjut hingga 2019?
Ia mengatakan, pada pilkada sebelumnya, hal yang sama juga terjadi. Partai yang tak berkoalisi di tingkat pusat mengusung calon kepala yang sama di beberapa provinsi dan kota atau kabupaten.
Haris yakin koalisi di daerah untuk Pilkada 2018 tidak akan bertahan hingga Pemilu 2019, khususnya di pemilihan presiden. Alasannya, konstelasi akan berubah seiring berjalannya proses politik.
Baca: Usung Ganjar di Pilkada Jateng, Ini Pertimbangan Demokrat
"Enggak ada yang aneh, jadi wajar saja. Sebab, memang koalisi politik yang berlangsung di kita itu kan koalisi cair. Koalisi longgar. Koalisi yang tidak ideologis. Koalisi yang diikat kepentingan jangka pendek yang sama, yakni pencalonan di pilkada," lanjutnya.
Sebelumnya, beberapa partai yang tak pernah berkoalisi di level pusat mengusung beberapa calon kepala daerah yang sama. Partai-partai itu, contohnya, PDI-P dan Partai Demokrat yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon gubernur Jawa Tengah.