JAKARTA, KOMPAS.com - Sekjen Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), M Noor Marzuki, mengatakan, hasil diskusi antara Kementerian ATR bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyepakati bahwa semua aset PT Kereta Api Indonesia (KAI) harus diselamatkan.
Hal tersebut disampaikan Marzuki usai forum diskusi kelompok (FGD) dengan KPK, yang juga dihadiri perwakilan Kementerian Perhubungan dan PT KAI, di Kantor KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (18/12/2017).
"Pertemuannya, prinsipnya bahwa supaya semua aset Kereta Api harus diamankan," kata Marzuki.
Menurut dia, ada dua aspek yang akan dilakukan dalam menyelamatkan aset PT KAI. Pertama, dalam hal legalitas, semua aset PT KAI ini harus didaftarkan ke BPN atau Kementerian ATR agar mendapatkan sertifikat.
Baca juga: Telusuri Aset PT KAI, KPK Utus Tim ke Belanda
Aspek kedua, yakni dari aspek fisik, aset-aset PT KAI di lapangan harus dijaga.
"Dari segi aspek fisik di lapangan supaya dapat dijaga secara baik untuk tidak diokupasi oleh penduduk," ujar Marzuki.
Marzuki menjelaskan, aset yang diokupasi penduduk misalnya berupa lahan peninggalan Belanda yang kemudian telah dinasionalisasi.
Kementerian ATR akan menginventarisasi aset PT KAI itu untuk mengetahui siapa saja yang mendudukinya.
"Kemudian kami cari langkah-langkah solusinya," ujar Marzuki.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah sebelumnya mengatakan, yang dibahas dalam diskusi itu yakni ruang milik jalan atau (rumija) sekitar 6 meter sepanjang rel di seluruh Indonesia.
Rumija yang yelah teridentifikasi, lanjut Febri, sekitar 5.500 hektar di seluruh Indonesia dengan nilai sekitar Rp 14 triliun.
Baca: Lahan Stasiun untuk Rusunawa Usulan Ahok Tetap Jadi Aset PT KAI
Namun, kata dia, masih ada problem pencatatan ganda antara KAI dan Kemenhub. Hal tersehut diduga terjadi sejak 2007. Misalnya, ada pihak swasta yang menggunakan ruang di pinggir rel kereta api seperti kabel, pipa atau yang lain.
Kemudian, ada kendala dalam pembayaran karena adanya perbedaan pandangan tentang pencatatan aset tersebut, apakah aset PT KAI atau Kemenhub.
"Karena keduanya mencatat sebagai aset Rp 14 triliun tersebut," kata Febri, saat dikonfirmasi lewat pesan tertulis, Senin siang.
Menurut Febri, dari informasi yang diterima KPK, penerimaan KAI dari "rumija" yang dihitung Rp 744 miliar per tahun. Sebagian dari angka itu tertunggak karena sengketa yaitu sekitar Rp 144 miliar.
Oleh karena itu, untuk memaksimalkan penerimaan negara dari penggunaan "rumija" tersebut, dilakukan pembahasan untuk penyelamatan aset PT KAI.
"Jadi peran KPK di sini adalah menjalankan fungsi trigger mechanism di bidang pencegahan agar kepemilikan aset lebih jelas, dan penerimaan negara lebih maksimal," ujar Febri.