JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta DPR dan pemerintah mencabut pasal mengenai pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam draf revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Direktur Imparsial Al Araaf selaku juru bicara koalisi mengatakan, meski perbantuan TNI kepada Polri dalam menanggulangi terorisme dimungkinkan sebagai bagian dari tugas operasi militer selain perang, tapi pelibatan itu seharusnya tidak diatur dalam RUU Antiterorisme.
Menurut Al Araaf, pengaturan pelibatan TNI dalam mengatasai terorisme dalam kerangka operasi militer selain perang sudah diatur dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI No. 34 tahun 2004.
(Baca: Pasal Pelibatan TNI dalam RUU Terorisme Dinilai Rentan Pelanggaran HAM)
Dengan demikian, pengaturan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme tidak perlu lagi diatur dalam RUU antiterorisme karena sudah diatur dalam UU TNI.
"Dalam pasal tersebut pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme masuk dalam kategori tugas operasi militer selain perang, yang hanya dapat dilakukan jika ada keputusan politik negara," ujar Al Araaf saat memberikan keterangan pers di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (21/6/2016).
Namun koalisi menilai, pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sebenarnya membutuhkan undang-undang khusus.
Saat ini belum ada regulasi yang mengatur mekanisme pelibatan dalam penanganan terorisme yang kini ditangani Polri.
Secara lebih komprehensif, pengaturan tentang tugas perbantuan TNI kepada Pemerintah sebaiknya diatur dalam UU tentang tugas perbantuan yang hingga kini belum dibuat.
Dalam RUU tentang tugas perbantuan, Pemerintah dan DPR bisa mengatur secara komprehensif meliputi prasyarat kondisi, mekanisme, prosedur, anggaran, limitasi waktu, maupun kendali komando.
Pembentukan aturan tentang tugas perbantuan merupakan amanat TAP MPR No. VII/2000, UU No. 2 tahub 2002 tentang Polri dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
(Baca: Ini Pasal yang Dianggap Kontroversial dalam Draf RUU Anti-Terorisme)
Oleh karena itu Koalisi menilai Pemerintah dan DPR sebaiknya membentuk dan membahas RUU tentang tugas perbantuan. Itu karena RUU tugas perbantuan diperlukan tidak hanya untuk pelibatan dalam menanggulangi terorisme, tapi juga untuk tugas-tugas perbantuan TNI kepada lembaga pemerintah lain.
"DPR bersama Pemerintah seharusnya membentuk aturan tentang tugas perbantuan sebagai dasar pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang dan bukan dengan mengatur pelibatan TNI dalam penanganan terorisme melalui RUU Antiterorisme," kata Al Araaf.