JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, mendorong pemberian remisi bagi seluruh narapidana.
Yasonna menuturkan pemberian remisi dibuat menjadi satu pintu, yakni melalui Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).
TPP-lah yang menilai kelayakan dan besaran remisi yang didapatkan seorang narapidana. TPP terdiri dari perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ahli psikologi dan sebaginya.
Menanggapi hal itu, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho menilai KPK tidak lagi menjadi lembaga yang independen jika TPP dibentuk.
"Saya baca draf revisi PP 99. TPP dibentuk oleh Menteri Hukum dan HAM. Disitu ditempatkan KPK sebagai bawahan dari TPP," kata Emerson dalam diskusi di kawasan Meteng, Jakarta, Sabtu (20/8/2016).
Menurut Emerson, posisi KPK dalam TPP menjadi tidak setara. Selain itu, lanjut Emerson, TPP hanya berfungsi memberikan pertimbangan terhadap pemberian remisi sedangkan kewenangan pemberian remisi berada di kepala lapas.
(Baca: Remisi Koruptor Dipermudah, KPK Kirim Surat Keberatan kepada Presiden)
"Pertanyaannya adalah ketika tim ini dibentuk, pola pengambilan keputusannya seperti apa. Kalau KPK enggak setuju, semua setuju apa bakal batalkan pemberian remisi. KPK kan independen, masa di bawah Kemenkum HAM," ucap Emerson.
Menkumham Yasonna Laoly sebelumnya mengatakan, PP akan direvisi karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Alasan kedua, pembuatan PP itu tidak melalui syarat prosedur formal, salah satunya dikaji pakar terlebih dahulu.
Dengan adanya revisi PP ini, Yasonna mendorong supaya tidak ada diskriminasi persyaratan bagi semua terpidana. Yasonna menyatakan, revisi PP itu mendorong agar prosedur pemberian remisi bagi seluruh narapidana dibuat menjadi satu pintu, yakni melalui Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).
TPP-lah yang nanti menilai berapa remisi yang didapatkan oleh seorang narapidana. TPP terdiri dari perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ahli psikologi dan sebaginya.
Yasonna memastikan, TPP akan tetap ketat dalam pemberian remisi bagi terpidana perkara-perkara kejahatan luar biasa.
"Ya sudah pastilah (akan mempersulit remisi), namanya juga extraordinary crime," ucapnya.