JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, pemberian hukuman bagi koruptor harus efektif namun juga efisien. Hal itu dikatakan Saut, saat menanggapi adanya wacana koruptor tidak dipenjara.
"Perlu upaya inovatif, namun harus efisien dan efektif, itu esensi Undang-Undang KPK juga," ujar Saut melalui pesan singkat, Selasa (27/7/2016).
Menurut Saut, hukuman bagi koruptor seharusnya dipilih yang dapat memberikan efek jera secara maksimal. Saut menilai, hukuman pemenjaraan saat ini memang belum mampu memberikan efek jera, sehingga pemidanaan penjara belum dapat dikatakan efektif dan efisien.
Tak heran jika pemerintah saat ini berupaya mencari solusi lain, sekaligus berinovasi untuk memberantas korupsi dan memaksimalkan pengembalian uang negara yang dirampas koruptor.
(Baca: Menko Polhukam: Pemerintah Kaji Kebijakan Tidak Penjarakan Koruptor)
"Ada yang keluar penjara masih kerja dan tidak dipecat. Pecat pelaku korupsi dan nolkan semua, kalau PNS atau anggota DPR, jangan dikasi uang pensiun," kata Saut.
Saut menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak dapat hanya dilakukan dengan cara yang biasa. Menurut dia, diperlukan inovasi dengan memperhitungkan berbagai dampak yang dihasilkan.
"Analisis kita harus complex dan tidak linier saja, bahkan kadang sulit diterima umum. Korupsi itu tidak boleh diatasi dengan cara-cara linier, karena korupsi sendiri complex, tidak linier," kata Saut.
(Baca: ICW: Ada Kecenderungan Vonis terhadap Koruptor Semakin Ringan)
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, saat ini pemerintah sedang mengkaji kebijakan mengenai bentuk hukuman bagi koruptor berupa pengembalian negara, penjatuhan penalti, dan pemecatan dari jabatan.
Menurut Luhut, terkait rancangan kebijakan tersebut, Presiden Joko Widodo bersama Kemenko Polhukam dan Kemenkumham telah membentuk tim pengkaji. Dengan adanya hukuman alternatif, Pemerintah bisa menyampingkan hukuman pidana penjara.
Kebijakan ini dilatarbelakangi asumsi bahwa koruptor tidak merasakan efek jera saat dipenjara.
(Baca: Wakil Ketua KPK: Indonesia Akan Aneh Sendiri Jika Tak Penjarakan Koruptor)
"Kalau koruptor terbukti merugikan negara, kita bisa hukum dengan mengembalikan uang negara, ditambah penalti, dan pemecatan dari jabatannya. Kalau masuk penjara, maka penjara kita bisa penuh nanti," ujar Luhut di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa.
Selain itu, pertimbangan lain untuk tidak memenjarakan koruptor karena kondisi sel di Indonesia yang sudah tidak memadai untuk menerima tambahan narapidana dalam jumlah banyak.
Pemerintah, kata Luhut, juga sedang membandingkan praktik hukuman alternatif yang digunakan sejumlah negara lain terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.