Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

18 Tahun Reformasi, Penuntasan Kasus HAM Jalan di Tempat

Kompas.com - 20/05/2016, 19:09 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Koordinator bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menganggap upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Momentum 18 tahun reformasi yang seharusnya menjadi tonggak perubahan bagi pemerintah justru tak membuat penuntasan kasus itu berjalan cepat.

"Selama 18 tahun sejak reformasi bergulir, Kontras justru menilai upaya penegakan HAM tidak menjadi isu sentral dan mengalami kemacetan," ujar Yati dalam diskusi "Quo Vadis 18 Tahun Reformasi" di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jumat (20/5/2016).

(Baca: 18 Tahun Reformasi, Kebebasan Berekspresi Dinilai Masih Dalam Ancaman)

Yati mengistilahkan penegakan HAM di Indonesia kini melalui tiga fase transisi. Fase pertama atau disebut sebagai fase dramatis terjadi pada periode 1998-2000. Pada fase tersebut lahir berbagai macam kebijakan atau peraturan perundang-undangan terkait penegakan HAM.

Dalam periode itu pula, pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk melakukan penyelidikan atas kasus Mei 1998 dan pelanggaran HAM Timor Timur.

Fasel selanjutnya pada tahun 2001-2006 memasuki fase penuh kompromi. Dalam fase ini, kata Yati, muncul berbagai kebijakan baru, tetapi tidak diimplementasikan secara maksimal. UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) pun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

(Baca: Jaksa Agung Sebut Sulit Buat Pengadilan HAM Ad Hoc)

"Saat itu digelar pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Tanjung Priok dan Timor Timur, tapi hasilnya tidak memuaskan karena seluruh pelaku dibebaskan," kata Yati.

Memasuki fase ketiga pada 2007 sampai saat ini, Yati menyebutnya sebagai fase macetnya reformasi. Padahal, Yati menilai Indonesia telah memiliki instrumen penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, tetapi tidak diimplementasikan secara maksimal.

Tercatat hanya dua kasus yang pernah diselesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc, yakni kasus Tanjung Priok dan Timor Timur (Timor Leste).

(Baca: Agus Widjojo: Rekonsiliasi Akan Lebih Komprehensif Ketimbang Pengadilan HAM)

Yati berpendapat, macetnya penegakan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM terjadi karena oknum militer atau pensiunan tentara yang diduga bertanggung jawab dalam kasus HAM masih memegang kekuasaan dalam pemerintahan.

Saat ini, penyelesaian kasus oleh pemerintah terkesan ingin dilakukan secara cepat dengan tidak melibatkan korban dan tidak memenuhi hak-hak korban.

"Kami bisa melihat bagaimana kasus peristiwa 1965 akan diselesaikan melalui jalur nonyudisial (rekonsiliasi) di mana hak korban rentan tidak terpenuhi. Hal itu terjadi karena oligarki kekuasaan. Kabinet Kerja masih diisi oleh militer yang diduga terlibat pelanggaran HAM," papar Yati.

Kompas TV Catatan Hitam Sejarah Reformasi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com