JEBOLNYA Pusat Data Nasional (PDN) milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akibat serangan siber ransomware mengakibatkan terganggunya layanan publik di berbagai instansi, termasuk layanan keimigrasian.
Akibat down-nya server keimigrasian, terbuka peluang terjadinya penyelundupan orang, pemberangkatan korban perdagangan manusia, serta rusaknya validasi pendataan warga yang berimigrasi.
Mandat konstitusi negara Indonesia tertuang dalam UUD 1945 bahwa negara hadir melindungi segenap bangsa Indonesia. Maka, serangan siber ransomware kepada Pusat Data Nasional merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam mengelola negara Indonesia.
Namun, nilai-nilai tersebut tampaknya bukan menjadi budaya dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pemerintah sering kali menggunakan "jurus ngeles" dengan membuat berbagai argumentasi pembenaran agar publik memaklumi kejadian tersebut.
Bahkan, mereka berusaha membangun opini seakan-akan negara sedang diserang sehingga rakyat mesti mendukung pemerintah.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR RI (27/6/2024) mengatakan bahwa serangan ransomware merupakan kejadian yang juga dialami negara maju.
Ia mencontohkan beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Jerman.
Dia membandingkan bahwa Amerika Serikat mengalami serangan siber ransomware sebesar 40,34 persen dan Kanada 6,75 persen, sementara Indonesia hanya terkena dampak sekitar 0,67 persen.
Cara argumentasi dengan membandingkan negara lain yang dilakukan Budi Arie tersebut adalah upaya untuk membalikkan keadaan dan menutupi kegagalan dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
Hal ini membentuk opini bahwa kejadian tersebut adalah hal yang biasa dan Indonesia masih "beruntung" dibanding negara lain. Ini sama seperti teori "si untung" yang menjadi dogma menyesatkan yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia.
Sebagai contoh, seseorang yang mengalami kecelakaan, dogma yang keluar dari pihak keluarga korban adalah "masih untung hanya luka-luka".
Pada prinsipnya, ini adalah cara mensyukuri kondisi buruk dengan berpikir bahwa bisa saja terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi.
"Jurus ngeles" seperti ini bukan pertama kali digunakan oleh pemerintahan Jokowi untuk mengelabui publik. Ketika nilai tukar dollar AS naik, Gubernur Bank Indonesia juga menggunakan cara membandingkan dengan negara lain.
Jurus pembenaran ini juga digunakan dalam membenarkan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah, seperti politik dinasti, Tapera, Undang-Undang Cipta Kerja, dan sebagainya.
Membandingkan dengan negara lain menjadi senjata ampuh untuk membenarkan kegagalan pemerintah melaksanakan tugasnya, sementara perbandingan yang dibuat tidak apple to apple.