JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya tidak melakukan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) secara diam-diam, meskipun beleid itu masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas pada 2024.
"Revisi Undang-Undang MK ini memang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2024 dan isinya relevan untuk kemudian dibicarakan, tapi tidak selalu berarti bahwa DPR dengan itu kemudian bisa membahasnya diam-diam langsung dibawa ke paripurna," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus dikutip dari program Obrolan Newsroom di Kompas.com, Selasa (14/5/2024) kemarin.
Lucius mengingatkan DPR supaya menaati tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang mereka sepakati.
Sebab jika sikap pembahasan atau revisi terhadap undang-undang dilakukan secara tidak terbuka maka terbuka potensi pelanggaran.
Baca juga: Sentil DPR soal Revisi UU MK, Pakar: Dipaksakan, Kental Kepentingan Politik
"Karena di Undang-Undang 12 Tahun 2011 jelas bahwa undang-undang yang masuk dalam daftar Prolegnas prioritas itu harus dibahas dengan prosedur yang sudah ditentukan," ujar Lucius.
Lucius juga terkejut karena DPR dan pemerintah mendadak akan membawa revisi UU MK ke rapat paripurna. Sebab menurut catatannya, sebelumnya tidak terjadi pembahasan antara DPR dan pemerintah.
Dia kemudian memaparkan tentang alur pembahasan setiap undang-undang oleh DPR dan pemerintah.
Prosesnya dimulai dengan pembuatan draf kemudian dilanjutkan dengan sinkronisasi ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Baca juga: Revisi UU MK Disetujui Pemerintah, Mahfud MD: Sekarang Saya Tak Bisa Halangi Siapa-siapa
"Setelah disinkronisasi di Badan Legislasi DPR lalu kemudian dibawa ke paripurna untuk kemudian ditetapkan sebagai rancangan undang-undang inisiatif DPR," ujar Lucius.
Setelah itu, kata Lucius, DPR akan meminta surat presiden (Surpres) supaya pemerintah ikut membahas RUU.
Setelah mendapat Surpres, barulah RUU kemudian dibahas bersama antara DPR dan pemerintah.
"Seperti itu prosedur standar sebelum kemudian dilakukan pembicaraa tingkat I, setelah tingkat I kemudian di tingkat 2," ucap Lucius.
Baca juga: Tolak Revisi UU MK, Mahfud: Bisa Ganggu Independensi Hakim
Sebagaimana diberitakan, keputusan membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK ke paripurna dilakukan dalam rapat Komisi III dengan Pemerintah pada 13 Mei 2025.
Menariknya, rapat tersebut yang dihadiri Menteri Koordinator Politik Hukum dan, Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly sebagai wakil pemerintah itu dilakukan pada masa reses DPR.
Kemudian, dalam naskah terakhir revisi UU MK yang diterima Kompas.com, diselipkan Pasal 23A terkait masa jabatan hakim konstitusi.
Dalam ayat (1) disebutkan bahwa masa jabatan hakim konstitusi adalam 10 tahun.
Aturan masa jabatan ini berubah dari Pasal 22 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyebutkan masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun. Namun, Pasal 22 tersebut dihapus dalam revisi pertama UU MK, tepatnya di UU Nomor 8 Tahun 2011 terhadap UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Baca juga: Soal Revisi UU MK, Pengamat: Rapat Diam-diam adalah Siasat DPR Mengecoh Publik
Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK disebutkan bahwa calon hakim MK harus berusia paling rendah 55 tahun Kemudian, Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK hasil revisi ketiga menyebutkan bahwa hakim konstitusi diiberhentikan dengan hormat dengan alasan telah berusia 70 tahun.
Selanjutnya, Pasal 87 huruf b UU MK hasil revisi ketiga itu menyebutkan bahwa hakim konstitusi mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.