Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masuk Prolegnas Prioritas Tak Bisa Jadi Dalih DPR Diam-diam Revisi UU MK

Kompas.com - 15/05/2024, 12:00 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya tidak melakukan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) secara diam-diam, meskipun beleid itu masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas pada 2024.

"Revisi Undang-Undang MK ini memang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2024 dan isinya relevan untuk kemudian dibicarakan, tapi tidak selalu berarti bahwa DPR dengan itu kemudian bisa membahasnya diam-diam langsung dibawa ke paripurna," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus dikutip dari program Obrolan Newsroom di Kompas.com, Selasa (14/5/2024) kemarin.

Lucius mengingatkan DPR supaya menaati tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang mereka sepakati.

Sebab jika sikap pembahasan atau revisi terhadap undang-undang dilakukan secara tidak terbuka maka terbuka potensi pelanggaran.

Baca juga: Sentil DPR soal Revisi UU MK, Pakar: Dipaksakan, Kental Kepentingan Politik


"Karena di Undang-Undang 12 Tahun 2011 jelas bahwa undang-undang yang masuk dalam daftar Prolegnas prioritas itu harus dibahas dengan prosedur yang sudah ditentukan," ujar Lucius.

Lucius juga terkejut karena DPR dan pemerintah mendadak akan membawa revisi UU MK ke rapat paripurna. Sebab menurut catatannya, sebelumnya tidak terjadi pembahasan antara DPR dan pemerintah.

Dia kemudian memaparkan tentang alur pembahasan setiap undang-undang oleh DPR dan pemerintah.

Prosesnya dimulai dengan pembuatan draf kemudian dilanjutkan dengan sinkronisasi ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Baca juga: Revisi UU MK Disetujui Pemerintah, Mahfud MD: Sekarang Saya Tak Bisa Halangi Siapa-siapa

"Setelah disinkronisasi di Badan Legislasi DPR lalu kemudian dibawa ke paripurna untuk kemudian ditetapkan sebagai rancangan undang-undang inisiatif DPR," ujar Lucius.

Setelah itu, kata Lucius, DPR akan meminta surat presiden (Surpres) supaya pemerintah ikut membahas RUU.

Setelah mendapat Surpres, barulah RUU kemudian dibahas bersama antara DPR dan pemerintah.

"Seperti itu prosedur standar sebelum kemudian dilakukan pembicaraa tingkat I, setelah tingkat I kemudian di tingkat 2," ucap Lucius.

Baca juga: Tolak Revisi UU MK, Mahfud: Bisa Ganggu Independensi Hakim

Sebagaimana diberitakan, keputusan membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK ke paripurna dilakukan dalam rapat Komisi III dengan Pemerintah pada 13 Mei 2025.

Menariknya, rapat tersebut yang dihadiri Menteri Koordinator Politik Hukum dan, Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly sebagai wakil pemerintah itu dilakukan pada masa reses DPR.

Kemudian, dalam naskah terakhir revisi UU MK yang diterima Kompas.com, diselipkan Pasal 23A terkait masa jabatan hakim konstitusi.

Dalam ayat (1) disebutkan bahwa masa jabatan hakim konstitusi adalam 10 tahun.

Aturan masa jabatan ini berubah dari Pasal 22 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyebutkan masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun. Namun, Pasal 22 tersebut dihapus dalam revisi pertama UU MK, tepatnya di UU Nomor 8 Tahun 2011 terhadap UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Baca juga: Soal Revisi UU MK, Pengamat: Rapat Diam-diam adalah Siasat DPR Mengecoh Publik

Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK disebutkan bahwa calon hakim MK harus berusia paling rendah 55 tahun Kemudian, Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK hasil revisi ketiga menyebutkan bahwa hakim konstitusi diiberhentikan dengan hormat dengan alasan telah berusia 70 tahun.

Selanjutnya, Pasal 87 huruf b UU MK hasil revisi ketiga itu menyebutkan bahwa hakim konstitusi mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Gaspol! Hari Ini: Di Balik Layar Pencalonan Anies Baswedan-Sohibul Iman

Gaspol! Hari Ini: Di Balik Layar Pencalonan Anies Baswedan-Sohibul Iman

Nasional
PAN Pertimbangkan Kaesang jika Ridwan Kamil Tak Maju di Pilkada DKI

PAN Pertimbangkan Kaesang jika Ridwan Kamil Tak Maju di Pilkada DKI

Nasional
PDI-P Buka Peluang Usung Anies Baswedan, tapi Tunggu Restu Megawati

PDI-P Buka Peluang Usung Anies Baswedan, tapi Tunggu Restu Megawati

Nasional
38 DPW PAN Dukung Zulhas untuk jadi Ketum Lagi

38 DPW PAN Dukung Zulhas untuk jadi Ketum Lagi

Nasional
PKS Usung Duet Anies-Sohibul, PDI-P Utamakan Kader Sendiri

PKS Usung Duet Anies-Sohibul, PDI-P Utamakan Kader Sendiri

Nasional
Waketum Nasdem: Kalau Parpol Punya Prinsip, Kenapa Tergantung 'Cawe-cawe' Jokowi?

Waketum Nasdem: Kalau Parpol Punya Prinsip, Kenapa Tergantung "Cawe-cawe" Jokowi?

Nasional
Pengendara Motor Tewas Akibat Tabrak Separator Busway di Kebon Jeruk

Pengendara Motor Tewas Akibat Tabrak Separator Busway di Kebon Jeruk

Nasional
Ajak Hidup Sehat, Bank Mandiri Gelar Program Bakti Kesehatan untuk Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta

Ajak Hidup Sehat, Bank Mandiri Gelar Program Bakti Kesehatan untuk Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta

Nasional
Kisah VoB: Pernah DO, Manggung di Glastonbury, dan Kritiknya ke Dunia Pendidikan Kita

Kisah VoB: Pernah DO, Manggung di Glastonbury, dan Kritiknya ke Dunia Pendidikan Kita

Nasional
Soal Peluang Nasdem Dukung Anies di Jakarta, Ahmad Ali: Hanya Allah dan Surya Paloh yang Tahu

Soal Peluang Nasdem Dukung Anies di Jakarta, Ahmad Ali: Hanya Allah dan Surya Paloh yang Tahu

Nasional
Safenet: Kalau 'Gentleman', Budi Arie Harusnya Mundur

Safenet: Kalau "Gentleman", Budi Arie Harusnya Mundur

Nasional
Kemenag: Jumlah Jemaah Haji Wafat Capai 316 Orang

Kemenag: Jumlah Jemaah Haji Wafat Capai 316 Orang

Nasional
Haji, Negara, dan Partisipasi Publik

Haji, Negara, dan Partisipasi Publik

Nasional
Tak Percaya Jokowi Sodorkan Kaesang ke Sejumlah Parpol untuk Pilkada DKI, Zulhas: Kapan Ketemunya? Tahu dari Mana?

Tak Percaya Jokowi Sodorkan Kaesang ke Sejumlah Parpol untuk Pilkada DKI, Zulhas: Kapan Ketemunya? Tahu dari Mana?

Nasional
Kemenag: Jemaah Haji Sedang Haid Tidak Wajib Ikuti Tawaf Wada'

Kemenag: Jemaah Haji Sedang Haid Tidak Wajib Ikuti Tawaf Wada'

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com