Salah satu faktor kunci dalam menjaga stabilitas pemerintahan pada masa kepemimpinan SBY dan Jokowi, seperti yang diungkapkan oleh Mietzner (2023), adalah strategi pembentukan koalisi yang beragam.
SBY, yang kemudian diikuti oleh Jokowi, berhasil membentuk koalisi yang melibatkan berbagai faksi di dalamnya.
Koalisi ini tidak terbatas hanya pada partai-partai politik, tetapi juga mengakomodasi beragam kepentingan dari militer, kepolisian, birokrasi, tokoh-tokoh lokal, oligarki, organisasi Islam, aktivis, dan akademisi.
Pada dasarnya, daya tarik utama koalisi ini adalah penempatan posisi menteri di dalam kabinet. Jokowi kemudian meluaskan daya tarik ini dengan memperluas penempatan posisi strategis ke berbagai lembaga lain seperti wakil menteri, komisaris, dan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Prinsip utama dalam pembentukan kabinet Prabowo adalah untuk menciptakan pemerintahan yang stabil dan mampu bertahan selama lima tahun. Namun, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan agar hal ini tercapai.
Pertama, posisi politik Prabowo saat ini dianggap lebih rentan daripada era Jokowi pada 2014. Meskipun Jokowi bukanlah ketua umum partai, namun beliau didukung PDIP yang merupakan pemenang dalam pemilu.
Selain itu, popularitas yang dimiliki Jokowi pada 2014 tidak sepenuhnya dimiliki oleh Prabowo saat ini. Partai Gerindra hanya meraih dukungan sebesar 13,22 persen, menempatkannya pada posisi ketiga setelah PDIP (16,72 persen) dan Golkar (15,28 persen).
Kedua, koalisi pendukung yang dimiliki Prabowo diperkirakan hanya akan mendapatkan 280 kursi, mencakup 48 persen total 580 kursi DPR.
Oleh karena itu, diperlukan koalisi kabinet yang melibatkan lebih dari 50 persen kursi atau minimal satu partai tambahan. Namun, berdasarkan praktik yang diterapkan oleh SBY dan Jokowi, koalisi parlemen biasanya melibatkan lebih dari 50 persen kursi.
Bahkan dalam kabinet saat ini, hampir semua partai terlibat di dalam pemerintahan, kecuali PKS yang memiliki 50 kursi. Dengan demikian, Jokowi memiliki kendali atas 525 kursi di DPR, atau 91 persen.
Koalisi yang mengesampingkan oposisi ini dianggap penting bagi Jokowi, terutama jika partai yang mendukung kandidat presiden lain cenderung meninggalkannya setelah pencalonan Gibran.
Angka yang dianggap sebagai ambang batas untuk membentuk pemerintahan yang stabil umumnya berada di sekitar 70 persen.
Saat itu, SBY berhasil membentuk koalisi dengan memegang kendali atas 73,45 persen kursi DPR pada 2004 dan 75,53 persen pada 2009.
Sementara itu, Jokowi memulai kepemimpinannya dengan situasi yang cukup menantang karena hanya memiliki dukungan sebesar 60,17 persen kursi di DPR. Namun angka tersebut meningkat seiring dengan bergabungnya beberapa partai pendukung.
Pada 2019, koalisi pemerintah berhasil mengamankan sebanyak 81 persen kursi DPR, hanya menyisakan PKS dan Demokrat sebagai partai oposisi.