Dalam konteks ini, Saldi menyebut bahwa hakim harus menemukan kebenaran sesuai fakta dan didukung bukti yang meyakinkan.
Sebab, konsep peradilan sengketa pemilu di MK masih menitikberatkan pada pembuktian materiil, sesuatu yang dianggap perlu penyempurnaan hukum di masa depan.
"Senantiasa akan ada dan ditemukan celah dalam aturan hukum yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan terlindung dari ancaman pelanggaran norma hukum," kata Saldi.
Baca juga: Beda Pendapat, Saldi Isra: Dalil Politisasi Bansos dan Mobilisasi Aparat Beralasan Menurut Hukum
Selain Saldi Isra, hakim Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat juga menyampaikan pendapat berbeda yang pada intinya tidak sependapat dengan lima hakim konstitusi lainnya yang menolak dalil-dalil permohonan Anies-Muhaimin.
Sebelumnya diberitakan, MK menolak permohonan sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Putusan ini dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Suhartoyo, Senin.
Putusan yang dibacakan ini hanyalah putusan atas permohonan yang diajukan Anies-Muhaimin, masih ada permohonan dari Ganjar-Mahfud yang akan dibacakan oleh hakim MK.
Baca juga: MK Nilai Kegiatan Bagi-bagi Uang Gus Miftah Tak Berkaitan dengan Kampanye
Dalam gugatannya ke MK, baik Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama meminta agar Prabowo-Gibran didiskualifikasi, dan digelar pemungutan suara ulang.
Berbeda dengan Ganjar-Mahfud, Anies-Muhaimin juga memasukkan petitum alternatif, yakni diskualifikasi hanya untuk Gibran.
Gibran dianggap tidak memenuhi syarat administrasi, sebab KPU RI memproses pencalonan Gibran menggunakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023.
Dalam PKPU itu, syarat usia minimum masih menggunakan aturan lama sebelum putusan MK, yakni 40 tahun.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga telah menyatakan seluruh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI melanggar etika dan menyebabkan ketidakpastian hukum terkait peristiwa itu.
Di samping itu, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Pranowo juga mendalilkan soal adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), juga terlanggarnya asas-asas pemilu di dalam UUD 1945 berkaitan dengan nepotisme Jokowi dan pengerahan sumber daya negara untuk bantu mendongkrak suara Prabowo-Gibran.
Baca juga: Beda Pendapat, Hakim Saldi Isra: Pemilu Orde Baru Juga Sesuai Prosedur, tapi Tidak Adil
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.