Penggunaan Hak Angket oleh DPR terhadap penyelenggaraan pemilu dipandang bagian dari mekanisme kontrol atas praktik pemerintahan dan kekuasaan. Tak ada yang aneh di negara demokrasi.
Namun, dengan cepat gagasan tersebut mengundang kontra. Pihak yang kontra berdalih bahwa hasil penggunaan hak tersebut akan sia-sia, karena tidak akan memengaruhi hasil pilpres. Hak Angket tak bisa membatalkan hasil pilpres.
Bagi yang pro, penggunaan Hak Angket bukan mempersoalkan perolehan suara, atau hasil pilpres. Yang hendak dipersoalkan adalah proses pemilu yang dinilai penuh siasat busuk, yang jauh-jauh hari telah diingatkan oleh banyak kalangan. Mengingat proses pemilu merupakan proses politik, DPR dinilai berwenang mengusutnya.
Pro-kontra Hak Angket dan sejumlah tuntutan penolakan hasil pilpres menjadi bukti bahwa residu politik Pilpres 2024 bagai “api dalam sekam”. Di samping melemahkan legitimasi hasil pilpres, residu politik itu potensial menciptakan instabilitas politik yang berkepanjangan.
Bertemunya harga beras yang terus membubung dan residu politik Pipres 2024, saya kira, tak bisa disepelekan. Kelangkaan kebutuhan pokok bertemu dengan instabilitas politik berpotensi melahirkan destruksi politik.
Meski tak sama, fenomena beras mahal yang beriringan dengan residu politik Pilpres 2024 serupa dengan fenomena di masa akhir pemerintah Orde Baru.
Dalam catatan saya, Orde Baru sangat terpukul dan mulai goyah pada awal 1998. Mata uang rupiah merosot tajam hingga Rp 17.000 per dolar AS pada 22 Januari 1998. Krisis mata uang juga dihadapi banyak negara saat itu, sekaligus menandai krisis ekonomi dunia.
Bahan-bahan kebutuhan pokok mulai langka dan mahal. Pembelian dibatasi.
Pemerintah saat itu berusaha keras membangun kesan aman. Bahkan, ketika menyampaikan nota keuangan 1998/1999 di depan anggota DPR pada 6 Januari 1998, Presiden Soeharto masih yakin, “badai pasti berlalu” (Kompas, 7 Januari 1998).
Pada sisi lain, Soeharto berusaha keras mempertahankan kekuasaannya melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) pada Maret 1998. MPR hasil Pemilu 1997 itu bersidang di tengah instabilitas politik.
Secara aklamasi, MPR memang berhasil mengukuhkan kembali Soeharto sebagai presiden, tapi ditolak oleh sebagian rakyat melalui gerakan reformasi. Rakyat menuntut Soeharto turun. Ia dianggap paling bertanggung jawab atas keterpurukan ekonomi dan politik.
Bertemulah antara gejolak ekonomi dan gejolak politik. Kelangkaan kebutuhan pokok bertemu dengan instabilitas politik.
Destruksi politik terjadi, dan Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998. Pilar-pilar kekuasaan Soeharto yang begitu kokoh, yang dibangun selama tiga puluh tahun lebih, roboh dalam sekejap.
Saya melihatnya ibarat luka pada tubuh penderita kencing manis. Luka tidak segera sembuh, malah melebar dan membusuk. Bagian tubuh itu harus diamputasi.
Masalahnya bukan pada luka. Tapi, penyandang luka adalah penderita kencing manis.
Apakah harga beras yang mahal belakangan ini dan residu politik Pilpres 2024 bagai luka pada penderita kencing manis, yang tak segera sembuh, malah melebar dan membusuk? Entahlah. Sejarah memiliki hukum dan kehendaknya sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.