Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Beras Mahal dan Residu Politik Pilpres 2024

Kompas.com - 26/02/2024, 10:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA terperangah mendengar obrolan orang-orang di pasar tradisional tempo hari. Obrolan mereka bukan lagi murni soal harga beras yang beberapa hari terakhir membubung tinggi. Namun, sudah memasuki tafsir politis.

Harga beras di seluruh provinsi Indonesia memang sudah melampaui harga eceran tertinggi (HET) pada 23 Februari 2024. Hal ini terlihat dari data yang dirilis Badan Pangan Nasional (Bapanas).

Bapanas menetapkan HET beras medium dan premium bervariasi berdasarkan provinsi. Beras medium berkisar Rp 9.450—Rp 10.250 per kilogram. Beras premium berkisar Rp 12.800—Rp 13.600 per kilogram.

Namun, pada 23 Februari 2024, rata-rata harga beras di tingkat pedagang eceran melonjak, baik beras medium maupun premium.

Beras medium melonjak pada kisaran Rp 11.800—Rp 22.250 per kilogram, dan beras premium pada kisaran Rp 14.600—Rp 27.810 per kilogram (databoks.katadata.co.id, 23/02/2024).

Beras medium paling mahal berada di Papua Pegunungan, yakni Rp 22.250 per kilogram. Harga di tingkat pedagang eceran ini lebih tinggi sekitar 117 persen dari HET setempat yang maksimal Rp 10.250 per kilogram.

Beras premium paling mahal berada di Papua Tengah, yakni Rp 27.810 per kilogram. Harga di tingkat pedagang eceran ini lebih tinggi sekitar 104,5 persen dari HET setempat yang maksimal Rp 13.600 per kilogram.

Seorang penjual beras menuturkan, kenaikan harga beras kali ini menjadi yang tertinggi sepanjang dirinya berjualan beras sejak tahun 2000.

Kompas.com (23/02/2024) juga melaporkan bahwa kenaikan harga beras belakangan merupakan yang “tertinggi dalam sejarah”. Di sejumlah daerah mulai terlihat antrean untuk mendapatkan beras murah dalam operasi pasar yang dilakukan pemerintah daerah.

Yang saya maksudkan obrolan orang-orang sudah memasuki tafsir politis adalah mereka mulai mengaitkan kenaikan harga beras dengan pemilihan presiden (Pilpres) 14 Februari 2024 lalu. Beberapa menggerutu, terkesan kecewa.

Pasalnya, Pilpres 2024 yang dimenangkan pasangan 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei, ternyata diikuti harga beras yang terus membubung.

Harga beras yang mahal tentu saja membuat mereka susah. Padahal, mereka merasa turut menyumbang kemenangan pasangan 02.

Sesuatu yang tak pernah dipikirkan lalu memasuki pemikiran mereka. Logika awam sederhana. Mereka melihat peristiwa yang beriringan antara harga beras yang terus melambung dan Pilpres 2024.

Seolah-olah ada hubungan kausalitas antara harga beras yang terus naik dan kemenangan pasangan 02, Prabowo-Gibran. Dikait-kaitkan dengan bantuan sosial (bansos) pemerintah yang marak menjelang pilpres.

Terjadi saling ledek di antara orang-orang di pasar tradisional itu, karena menerima bansos juga.

Terkonfirmasi pula melalui hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) bahwa penerima bansos pemerintah cenderung mendukung pasangan Prabowo-Gibran (Kompas.com, 25/02/2024).

Kemampuan pemerintah mulai disoroti. Pemerintah dianggap tidak mampu mencegah tren kenaikan harga beras belakangan. Dan, pasangan Prabowo-Gibran pun sebagai pemenang Pilpres 2024 turut disoroti, karena klaimnya sebagai “keberlanjutan” pemerintahan Jokowi.

Tak bisa disepelekan

Saya melihat logika awam yang sederhana tapi liar itu tidak bisa disepelekan. Saya yakin, bukan hanya terjadi pada sejumlah orang di pasar tradisional yang saya temukan tempo hari. Boleh jadi juga sedang berkecamuk di kepala rakyat Indonesia pada umumnya.

Rakyat bisa saja tidak mau tahu, misalnya, bahwa harga beras yang terus membubung itu bukan hanya gejala di Indonesia. Beberapa negara lain juga mengalami, seperti Pakistan dan Thailand.

Badan Pangan Dunia (FAO) menyatakan bahwa saat ini harga beras dunia juga naik. Bahkan, harga pada Januari 2024 merupakan angka tertinggi harga beras dunia sejak 2008 (Kompas.com, 23/02/2024).

Harga beras yang terus membubung juga bisa karena faktor iklim. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah berkali-kali mengingatkan bahwa El Nino akan berlangsung lama.

Perubahan iklim dan cuaca membuat petani gagal panen. Akibatnya, suplai beras ke pasar pun berkurang. Harga dengan sendirinya melonjak. Logika seperti itulah yang sering kita dengar dari pemerintah.

“Tidak hanya di Indonesia saja tapi di seluruh negara. Kenapa naik? Karena ada yang namanya perubahan iklim, ada yang namanya perubahan cuaca sehingga gagal panen. Produksi berkurang sehingga harganya jadi naik," demikian penjelasan Presiden Jokowi (Kompas.com, 23/02/2024).

Namun, rakyat juga bisa membangun logika sendiri. Apalagi bila harga beras tersebut tak segera terkendali. Bahkan, diikuti kenaikan harga bahan-bahan pokok lain.

Termasuk kabar kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per Maret 2024 (Kompas.com, 21/02/2024). Juga kenaikan tarif listrik per Maret 2024 (Kompas.com, 23/02/2024).

Rangkaian peristiwa memungkinkan terbentuknya logika rakyat yang berbeda dengan pemerintah. Harga beras yang terus membubung nyata-nyata beriringan dengan peristiwa politik yang tidak baik-baik saja.

Sebagaimana kita ketahui, Pilpres 2024 menyisakan residu politik yang tak bisa dianggap remeh. Pilpres ditengari penuh kecurangan yang melibatkan kekuasaan tertinggi, yakni lembaga kepresidenan.

Presiden Jokowi dianggap bermain untuk memenangkan pasangan 02, Prabowo-Gibran, dengan menggunakan kekuasaannya. Kecurangan ditengarai bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Bukti bahwa residu politik tersebut tak bisa dianggap remeh, di antaranya memunculkan gagasan penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan sejumlah tuntutan penolakan hasil pilpres oleh sejumlah kalangan. Sesuatu yang tak pernah terjadi pada pilpres-pilpres sebelumnya.

Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Penggunaan Hak Angket oleh DPR terhadap penyelenggaraan pemilu dipandang bagian dari mekanisme kontrol atas praktik pemerintahan dan kekuasaan. Tak ada yang aneh di negara demokrasi.

Namun, dengan cepat gagasan tersebut mengundang kontra. Pihak yang kontra berdalih bahwa hasil penggunaan hak tersebut akan sia-sia, karena tidak akan memengaruhi hasil pilpres. Hak Angket tak bisa membatalkan hasil pilpres.

Bagi yang pro, penggunaan Hak Angket bukan mempersoalkan perolehan suara, atau hasil pilpres. Yang hendak dipersoalkan adalah proses pemilu yang dinilai penuh siasat busuk, yang jauh-jauh hari telah diingatkan oleh banyak kalangan. Mengingat proses pemilu merupakan proses politik, DPR dinilai berwenang mengusutnya.

Pro-kontra Hak Angket dan sejumlah tuntutan penolakan hasil pilpres menjadi bukti bahwa residu politik Pilpres 2024 bagai “api dalam sekam”. Di samping melemahkan legitimasi hasil pilpres, residu politik itu potensial menciptakan instabilitas politik yang berkepanjangan.

Bertemunya harga beras yang terus membubung dan residu politik Pipres 2024, saya kira, tak bisa disepelekan. Kelangkaan kebutuhan pokok bertemu dengan instabilitas politik berpotensi melahirkan destruksi politik.

Serupa Orde Baru

Meski tak sama, fenomena beras mahal yang beriringan dengan residu politik Pilpres 2024 serupa dengan fenomena di masa akhir pemerintah Orde Baru.

Dalam catatan saya, Orde Baru sangat terpukul dan mulai goyah pada awal 1998. Mata uang rupiah merosot tajam hingga Rp 17.000 per dolar AS pada 22 Januari 1998. Krisis mata uang juga dihadapi banyak negara saat itu, sekaligus menandai krisis ekonomi dunia.

Bahan-bahan kebutuhan pokok mulai langka dan mahal. Pembelian dibatasi.

Pemerintah saat itu berusaha keras membangun kesan aman. Bahkan, ketika menyampaikan nota keuangan 1998/1999 di depan anggota DPR pada 6 Januari 1998, Presiden Soeharto masih yakin, “badai pasti berlalu” (Kompas, 7 Januari 1998).

Pada sisi lain, Soeharto berusaha keras mempertahankan kekuasaannya melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) pada Maret 1998. MPR hasil Pemilu 1997 itu bersidang di tengah instabilitas politik.

Secara aklamasi, MPR memang berhasil mengukuhkan kembali Soeharto sebagai presiden, tapi ditolak oleh sebagian rakyat melalui gerakan reformasi. Rakyat menuntut Soeharto turun. Ia dianggap paling bertanggung jawab atas keterpurukan ekonomi dan politik.

Bertemulah antara gejolak ekonomi dan gejolak politik. Kelangkaan kebutuhan pokok bertemu dengan instabilitas politik.

Destruksi politik terjadi, dan Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998. Pilar-pilar kekuasaan Soeharto yang begitu kokoh, yang dibangun selama tiga puluh tahun lebih, roboh dalam sekejap.

Saya melihatnya ibarat luka pada tubuh penderita kencing manis. Luka tidak segera sembuh, malah melebar dan membusuk. Bagian tubuh itu harus diamputasi.

Masalahnya bukan pada luka. Tapi, penyandang luka adalah penderita kencing manis.

Apakah harga beras yang mahal belakangan ini dan residu politik Pilpres 2024 bagai luka pada penderita kencing manis, yang tak segera sembuh, malah melebar dan membusuk? Entahlah. Sejarah memiliki hukum dan kehendaknya sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com