DPR kemudian harus menggelar sidang paripurna buat memutuskan menerima atau menolak hak angket. Jika usulan itu diterima dalam rapat paripurna, maka DPR segera membentuk panitia hak angket terdiri dari semua unsur fraksi di DPR.
Akan tetapi, jika usulan itu ditolak maka hak angket tidak bisa diajukan kembali.
Pengajuan hak angket juga mesti memperhitungkan jumlah anggota DPR yang mendukung.
DPR tercatat beberapa kali menggunakan kewenangan hak angket terkait pelaksanaan Pemilu.
Pada masa pemerintahan Orde Baru dipimpin Presiden Soeharto, DPR sama sekali tidak pernah menggunakan hak angket. Sebab pada saat itu manuver politik melalui DPR sangat jarang terjadi lantaran gaya kepemimpinan Soeharto yang membatasi aktivitas politik.
Seluruh kewenangan DPR baru dipulihkan setelah berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru melalui gerakan Reformasi 1998.
DPR menggunakan hak angket terkait pelaksanaan Pemilu pada 1999. Saat itu DPR membentuk panitia khusus (Pansus) hak angket Pemilu buat menyelidiki dugaan pelanggaran dana kampanye dan disahkan oleh KPU.
Pansus kemudian menemukan beberapa pelanggaran terkait penggunaan dana kampanye yang dituangkan dalam penyelidikan, tetapi tidak ada sanksi tegas yang diberikan.
Baca juga: Jusuf Kalla Anggap Hak Angket Kecurangan Pemilu Untungkan Semua Pihak
DPR kembali membentuk Pansus hak angket pada 2004 buat mengusut dugaan manipulasi data dalam proses penghitungan suara.
Dari hasil penyelidikan Pansus tidak menemukan bukti kuatnya keberadaan lokasi yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
DPR kembali membentu Pansus hak angket pada 2009 buat mengungkap dugaan hakikat dan inkonsistensi KPU dalam penyelenggaraan pemilu.
Hasil penyelidikan Pansus merekomendasikan agar KPU dihentikan, tetapi tidak ditindaklanjuti oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Baca juga: Singgung Partai Koalisi Rasa Oposisi, Demokrat: Bagaimana Ceritanya Koalisi Bicara Hak Angket?
Penggunaan hak angket oleh legislatif di Indonesia pertama kali dilakukan pada 1950 oleh R Margono Djojohadikusumo.
Ketika itu Margono yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) mendorong DPR menggunakan hak angket buat mengusut untung rugi penggunaan devisa oleh pemerintahan Presiden Soekarno.
Akan tetapi sampai Pemilu perdana pada 1955 ternyata usulan hak angket itu menguap atau tidak jelas nasibnya.