JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyambangi kantor KPU RI di Jakarta Pusat, menagih pertanggungjawaban atas jatuhnya korban jiwa petugas pemilu dalam Pemilu 2024.
"Kami meminta pertanggungjawaban KPU. KPU seharusnya bisa secara terbuka dan transparan menyampaikan kepada publik apa sebetulnya alasan sesungguhnya," kata peneliti Kontras, Rozy Brilian Sodik, kepada wartawan, Kamis (22/2/2024).
Ia mempertanyakan KPU yang hanya menyebut bahwa para petugas pemilu itu gugur karena alasan kelelahan dan tidak mengungkap detail pasti jenis-jenis penyebab kematian mereka.
Rozy menilai, tidak ada perbaikan yang cukup signifikan oleh KPU dalam rangka mencegah petugas pemilu meninggal dunia, kendati jumlah kematian turun drastis dibandingkan tragedi kematian 894 petugas pada Pemilu 2019.
"Kami juga menagih KPU sebagai penyelenggara pemilu juga bisa menyampaikan kepada publik secara transparan dan akuntabel bagaimana kompensasi yang akan diberikan kepada korban dan keluarga korban, baik yang sakit maupun meninggal dunia," ujar Rozy.
Baca juga: ICW Sambangi KPU, Minta Informasi Pengadaan dan Pengembangan Sirekap
Berdasarkan data yang dihimpun KPU dan Bawaslu dalam rentang 14-18 Februari 2024, total 71 petugas pemilu dari sisi KPU dan 13 dari sisi Bawaslu tutup usia dalam menjalani tugas.
Berangkat dari tragedi 2019, KPU dan pemerintah sebetulnya jauh-jauh hari coba menempuh beberapa terobosan untuk menekan beban kerja petugas pemilu, wabilkhusus petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara).
KPU, misalnya, memberi batasan usia petugas KPPS maksimum 55 tahun, berkaca pada Pilkada Serentak 2020.
KPU juga kini membolehkan formulir C.Hasil di TPS tak disalin manual, melainkan difotokopi untuk digandakan bagi saksi dan pengawas TPS.
Setiap KPPS juga diberi bimbingan teknis, tak lagi hanya 2 orang seperti Pemilu 2019 yang mengorbankan 894 petugas pemilu.
Sebelum mendaftar, petugas pemilu juga harus menyertakan surat keterangan sehat.
Baca juga: 71 Petugas Pemilu Wafat, Komnas HAM: Penyelenggara Berisiko Langgar Hak Asasi
Namun, pada Pemilu 2024, dari hasil "screening" kesehatan terhadap 6,4 juta petugas pemilu, Kementerian Kesehatan mendapati sekitar 400.000 di antaranya memiliki riwayat penyakit berisiko tinggi.
Sayangnya, hal ini baru diketahui setelah mereka dinyatakan diterima pendaftarannya oleh KPU dan Bawaslu.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menyampaikan bahwa 34 persen petugas pemilu memiliki riwayat hipertensi, 26 persen jantung koroner, gagal ginjal kronis 8 persen, dan diabetes mellitus 3 persen.
Situasi ini riskan karena jam kerja para petugas pemilu sangat panjang dan nyaris nonstop dalam mempersiapkan pemungutan suara hingga mengawal penghitungan suara maksimum hingga pukul 12.00 keesokan harinya.
Baca juga: Kurangi Beban Petugas Pemilu pada 2029, Jangan Ada Lagi Korban
Satu lagi, niat KPU mempermudah kerja KPPS melalui penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), justru jadi buah simalakama, kendati belum ada penelitian yang secara langsung membuktikan korelasi positif antara kelelahan akibat penggunaan sistem ini dengan kematian para petugas pemilu.
"Kelelahan juga terjadi karena menunggu lama di TPS akibat aplikasi Sirekap yang down sementara KPPS harus memfoto langsung dari formulir C.Hasil yang ada di TPS. Mereka belum bisa menutup TPS dan mengirimkan hasil ke PPK via PPS kalau foto C.Hasil belum terunggah di Sirekap," ungkap pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, kepada Kompas.com, Selasa (20/2/2024).
Para petugas KPPS mengamini. Sistem anyar itu dinilai tak siap pakai.
Firmansyah yang sudah menjadi anggota KPPS selama 4 kali pemilu digelar, menyebutnya sebagai biang keladi kelelahan petugas. Ujung-ujungnya, mereka melakukan input data manual.
"Kali ini paling bikin capek karena Sirekap yang sistemnya jelek banget. Itu aplikasi terus-terusan menolak hasil scan foto formulir C. Tanpa Sirekap, bisa beres jam 00.00-01.00, tapi kemarin sampai harus saya paksa sudahi pukul 04.00," kata dia.
Baca juga: Kematian Hampir 100 Orang, Beban Kerja Petugas Pemilu Dianggap Terlalu Berat
Teguh (26), petugas KPPS di TPS 054 Pulogebang, Jakarta Timur, berujar bahwa Sirekap membuatnya bekerja dua kali karena dirinya selalu dikeluarkan oleh sistem saat hendak mencoba mengunggah foto C.Hasil.
"Sebenarnya mempersulit karena ini enggak bisa sama sekali upload," ujarnya.
Titi menilai, apa pun terobosan yang dilakukan, secara sistem desain pemilu serentak seperti Pemilu 2024 masih terlalu berat untuk para petugas pemilu.
Lima jenis pemilu dalam satu hari, yaitu pilpres, pileg DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD RI, dianggap membutuhkan waktu kerja yang lebih panjang dibandingkan saat ini.
Pasalnya, para petugas pemilu tak selalu diberi jalan mulus. Banyak problem teknis yang menambah beban kerja mereka dan memicu stres.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.